MENERJANG GERIMIS DI PARANG TRITIS

Sabtu, 24 Oktober 2009 0 komentar

Angin garam yang kau kirim lewat Samudra Hindia itu
menaburkan sejarah. menenggelamkan artefak, saksi bisu
dibawah butir-butir pasirmu yang menggunung.
Anak pelancong bermain sepanjang pantai.
tapi belum juga memberikan rasa dingin
akan kekhawatiranku tentang hujan
sedang kuda andong yang membawa
bocah-bocah lincah itu, ikut tertawa cekikikan,
matanya menahan sakit kasihan berjalan berat
di atas pasir basah berair pula
gerimis di parang tritis,
membuat kalimat takjub dan back ground tebing hijau
mengingatkan rumah-rumah bambu
dan para pencari kerang hijau
yang membuat mataku silau
matahari telah menghalangi
ketakutanku akan palung
dan jurang yang tertutupi gelisah
ombakmu. anganku mengawang
dijilat-jilat pantaimu, menyapa
selamat siang pada kulit kerang
dan tapak kaki siapa saja
yang masih membekas
selanjutnya aku cuma pernik-pernik
mineral di pasirmu yang
menghitam. makin hitam anganku
masuk berkelana di altarmu yang kelam.

Nurochman Sudibyo YS.
Yogyakarta, 2002

PUNCAK KHAYANGAN

0 komentar

Sebuah tebing, dengan karang membatu
serta rindang jambu mete, menjadi
ruang baru, bagi pengembaranku.
jalan berlenggok menawarkan hutan jati dan suplir liar
di atas papan jati yang kau bangun
menjadi sebuah candi
di atas kawasan seni dan impian
tentang komunitas kahyangan
dari atas puncakmu kusaksikan kengerian
memandang samudramu. bunga angrek
yang menawan di bibir bukit,
sedikit kurangi kecemasan.
di bawah sekali parangtritis dan tumpukan pasirnya
memberi pemandangan yang lain.
sedang aku kembali dihantui ketakutan dan klengerian
seakan tubuh kecilku hendak kau telan mentah-mentah
lewat lidah lautmu yang ganas.

Nurochman Sudibyo YS.
yogya-Indramayu , 2002

MENDULANG KENANGAN

0 komentar

Mega layung di langit utara, cahayanya seperti pedang
Nyi Mas Endang Dharma merajut awan putih menjadi
selendang. sedang angin utara mendendangkan sejarah dan peradaban
menenun kenangan sampai lahir selembar kain. digelar sampai
sebuah negeri melepas menguras dolar. bagi kapal kandas,
pacar cina, iwak etong, sawat riwet, kembang kapas dan gurat asem
kita bersama menyimpan kepenasaran.siapa sebenarnya pemilik
empirisme sungai yang menyimpan keindahan sepanjang
ribuan lukisan kain sari pembungkus tubuhmu
elokmu dan cantikmu itu daya tarik, jauh sebelum Belanda dan Portugis
datang. sedang laki-laki bertopeng yang kau sebut
sebagai pahlawan itu, sudah jadi raksasa di muara yang menyimpan
legenda tentang si muka merah. tinggi besar dan naluri binatang
yang meliar dari api gairahmu itu semakin penasaran selalu
untuk kudulang kenangan, kapan sebenarnya kau datang.
Imaginasi, fiksi ataukah illusi yang dimitoskan kebodohan.

Nurochman Sudibyo YS.
Indramayu, 2002.

TANGAN MEMBARA

0 komentar

Tangan-tanganmu serupa senapan
menuding untuk semua, sasaran
jatuh. seperti buah rambutan dipelintir hujan
musim menjadi hari yang aneh. tangan, bertepuk
hanya sebelah yang membara di kursi berselempang
langit kian menyempit, dialog pun makin mencekam,
nafasku diburu kengerian. suara jerit bayi-bayi
perempuan berbendera pembaruan
membuat jalanan menjadi kota yang berang
lorong-lorong jiwanya mengelana seperti tikus busuk
menghuni kegelapan

Kita malas memulas pautan daun talas. tertimbun
sudah batu dan bara tiga puluh dua tahun silam
knii datang waktunya. memenjarakan pada akar
pohon tumbang. sempatkan melongok mata cahayanya
tapi kau terus melawan arus dan waktu
sementara jutaan serangga kian berbisik,
semakin mengusik derap langkah suaranya. bahkan
kemarau telah diyakini tak akan segera berakhir. sebelum
tetes darah mengukir tanah ibunda. sampai sudah langkah,
menyusuri semua lapisan atmosfir kekuasaanmu. begitu
lama mencengkeram hutan dan sawah ladang. usah
gundah, selagi kami masih bersama ibu-ibu peduli,
yang ikut menangkapi kristal cahayamu.

Nurochman Sudibyo YS.
Indramayu, 2002

Cerpen : Nurochman S. YS

Jumat, 02 Oktober 2009 0 komentar

SETORRAI

Cerpen : Nurochman Sudibyo. YS

Ribuan perahu hilir mudik di muara. Di sandaran dermaga yang ramai, orang-orang sibuk mengasah pedang. Mereka seperti akan berperang. Tapi wajahnya cukup ditonjolkan dengan riang. Entah apa yang sedang mereka persiapkan. Kabarnya hanya karena perintah seorang yang pandai bersilat lidah. Sungguh telah memberi pengaruh yang cukup meriah.

Masyarakat pesisir Cipelem memang terbiasa dengan tradisi engkeg. Yang penting bisa tampil beda. Wajah yang pas-pasan tak jadi kendala, yang penting berani berhutang, bicaranya pun pasti lantang. Urusan perang itu belakangan. Hal ini pula yang menyebabkan mereka mudah diajak kompak. Bagaimana tidak, Hanya soal isyu ada tokoh besar panutannya yang bakal menggelar acara gedean (tayuban) di kadipaten luar provinsi saja, telah menimbulkan dampak alamiah yang amat dahsyat.

Entah siapa yang memulai. Yang pasti seminggu sebelum kemudian acara pesta para penggede itu digelar, seluruh masyarakat pesisir Cipelem kontan bersiap-siap untuk datang dalam acara maha akbar tersebut. Dimulai dari menghias perahu, menjahit jubah, bahkan memperbaiki mesin, bagi yang punya perahu. Ada juga yang rental kapal besar. Bahkan untuk tidak menumbuhkan pemikiran negative dan larangan dari penggede yang bakal kaget atas kehadiran mereka, kaum bawah itu, membuat seribu alasan. Bagi mereka tipa-tipu pun diciptakan untuk kegiatan bertema plesiran namanya saja Wong Pedesan.

Salah seorang pemrakarsa mengusulkan agar seminggu sebelum pelaksanaan kegiatan dilakukan tour keliling pejaratan yang berakhir di alun-alun Kraton Gedhe Aula Panditha. Ada juga yang menyelenggarakan rapat bulanan di Kota Gori (Sebelah Kota Ghede), dengan puncak acara hadir di pagelaran Tayuban Kanjeng Adipati. Bahkan ibu-ibu Persatuan Perempuan Ngiteng, siap melaksanakan pembukaan arisan perdana, juga di kota tersebut. Sungguh sebuah perhelatan yang tak terbayangkan meriahnya.
*
“Setorrai! Setorrai! Rayi tidak usah ikut! Cukup kakanda saja yang sowan ke Gusti Kanjeng Sinuhun. Rayi tinggal saja di padepokan. Kamu kan tak bisa goyang dangdut!” ujar Raighedeg kepada adiknya.

“Ah.... kakanda kok mengecilkan saya. Untuk urusan Goyang, itu sih soal gampang. Apalagi di sana momennya bukan hendak mengangkat seni tradisi adiluhung yang kita miliki. Biar saja kang. Aku pun tahu, di sana mau dipergelarkan Tayuban versi jaipong dangdut, Aku tahu Mas, nuansanya kental dengan politik pemerintahan provinsi kelak!” jawab Setorrai.

“Wah,wah...wah. Kamu ini ngarti apa Dik? Jangan Su’udon. Nggak Baik! Saru itu! Kanjeng Adipati mau menggelar acara itu memang untuk semua kalangan. Tapi ya itu, terbatas yang punya peranan penting di negeri ini. Termasuk Kakakmu ini. Aku Si Raighedeg yang punya peranan di Kantor Tata Tentrem Budaya Ayem, ini Rayi.”

“Lho Kakang ini lupa ya? Masyak Kakang ngak tau kalau disana bakal digelar kesenian Tayuban Gaya Jepang dengan lirik pegunungan. Ini nggak asli Kang! Ini bakal merusak citra kakang sebagai tokoh penting pemuja karya adiluhung. Semestinya kakang kalau nggak berani merubah rencana itu ya bawa aku Si Setorrai. Aku ini pasti akan datang dengan serempak. Bersama ribuan pengikutku bakal ikut mewarnai suasana disana. Kan jadi bertambah tradisional (ndeso gitu lho). Artinya kalau memang seleranya bergaya pegunungan, kalau yang banyak kumpul warga kita kaum pesisiran, kan jadinya... terlihat asli, dari sini kang pandanganmu!” jelas Setorrai meyakinkan kakaknya.

“Oke.....oke! baiklah kalau maumu begitu. Tapi aku ngak menyuruh dan sama sekali tidak menganjurkan kalian berduyun-duyun ke sana. Aku minta kamu atur peristiwa di sana seolah-olah tidak direncanakan. Artinya itu merupakan peristiwa alamiah. Dimana semua itu dimaklumi sebagai kemauan masyarkat yang sangat mencintai beliau. Dan, memang tak bisa dicegah.”

“Maksud kakang cinta kaum pesisir yang tak tertahankan, begitu?”
“ Yah....seperti itulah kira-kira.”
*
Sehari sebelum pesta dilaksanakan di Kota Gedhe, seluruh losmen, dan rumah penginapan diborong habis oleh warga Muara Cipelem. Kota yang biasanya ramai dengan turis Landa itu kini dipenuhi turis dadakan. Bahkan warga Kota Gedhe yang biasanya ramah dengan blangkon tak pelak dijubeli oleh orang-orang membawa pedang. Dengan wajah sangar dan tangan menenteng gepokan uang. Mereka borong cinderamata Kota Gedhe dengan alasan untuk buah tangan saat mereka pulang ke desa. Pemandangan ini tak beda dengan suasana pasaran di pinggir tanggul Bedahan.

Benar saja Setorrai membuktikan omongannya. Melihat ulah adik nya itu Raighedeg pun manggut-manggut kegirangan. Adiknya memang bukan termasuk pentolan Kadipaten Cipelem. Tapi untuk urusan menggerakan massa, dan mempengaruhi massa dia memang patut diacungi jempol.
“Edhan tenan, adikku Si Setorrai. Kota Gedhe telah di penuhi dengan para penjilat kelas teri. Aku harus pandai menutupi pengaruhnya.Ini bukan keinginanku. Ini digerakan oleh kecintaan mereka. Ini jelas pribadi yang luar biasa!” Gerutu Raighedeg disaat menyiapkan acara pagelaran akbar beselera Politika Budaya Wong Agung.

“Kawan-kawan seperjuangan. Di Kota Gedhe ini kalian bukan lagi tamu yang harus dihormat-hormati. Angap saja ini rumahmu. Belanjakan seluruh uangmu. Jangan kaget karna menu di sini serba manis. Di sini tak akan kalian temui Rumbah Semanggen. Di kota ini tak ada krupuk sambel. Apalagi Sega Lengko! Kalian harus makan Nasi Kucing dan Jangan Gori.” tutur Setorrai di hadapan ratusan tokoh masyarakat yang mengikuti ajakan Setorrai ke Kota Ghede.
“Siap, Kang Seto! Kami akan turuti apa yang kau mau. Bagaimana dengan perahu, sarung yang kami pakai dan dayung yang kami tengteng ini kami sandarkan?” tanya salah seorang warga berkostum monyet dengan ekor panjang.

“Bodoh! Kamu tanggalkan saja di sungai. Perahu kalian tak akan bisa menyebrangi alun-alun, apalagi masuk ke gedung pertunjukan dimana kanjeng adipati merayakan acara kenegaraannya. Ingat gunakan kendaraan becak. Hanya itu yang bisa bolak-balik di jalan utama selain kereta kencana milik tamu-tamu agung yang parkir di halaman gedung Bedoyo Kawi itu,” jawab Setorrai dengan lantang.

Seperti kerbau dicocok hidung, para pengikut Setorrai pun kemudian berbondong-bondong menuju bangunan tua yang telah ditata dengan hiasan indah. Mereka ternyata berhasil mewarnai seluruh isi gedung pertunjukan dimana keluarga besar Kanjeng Gusti Adipati Laksa Lupha mengadakan pesta keluarga besar-besaran bersama kerabat istana dan tamu manca negara.

Benar saja apa yang dikatakan Setorrai. Kanjeng Adipati menyelenggarakan Pesta Agung ini kental dengan nuansa politik. Pandainya semua ornamen kegiatannya dibungkus dengan unsur seni dan budaya. Lihat saja tarian pembukaannya pun bukan Kedok Udeng, tapi Topeng Menyon dibungkus sponsor sheep.

Cinderamatanya tidak berdisain Batik Canting Cemplongan, melainkan pring koprek gaya pegunungan. Begitu juga upacara adatnya tidak pake Kidung Kiser Pesisiran, ia malah pakai Kawih Jaipong Ngebor Abish. Ini jelas Lirik Gunung Paket Jadi untuk berpasangan. Soalnya Kanjeng Adipati Laksa Lupha serius pengen dipaket hemat ke arah puncak kariernya mencapai kekuasaan yang paripurna.
*
“Hay, Tumenggung RaiGhedeg, Itu rombongan apa? Kok malah memadati acaraku! Kamu jelas-jelas tidak memenuhi aturanku. Kamu tak beretika! Ini acara berkelas. Kenapa kamu ajak masyarakat kelas adikmu yang ngaku jawara itu kemari!. Ini, sungguh memalukan. Aku bakal kehilangan muka. Ini momen penting Gedheg, untuk karierku di mata masyarakat Sunda Ageng. Suruh Adikmu itu menarik orang-orangnya berkumpul di luar gedung saja! Atau ajak sana jalan-jalan ke Malkomodor. Nih, duitnya bagikan semua. (baginda menyerahkan sekarung uang). Mereka lebih tepat diajak berbelanja dari pada numplek di sini semua!” Pinta Kanjeng Adipati.
“Maaf, Kanjeng Adipati. Ini diluar prosedur yang telah diatur sebelumnya. Adikku Setorrai tidak bisa disalahkan begitu saja. Ia bersama rombongan yang patuh dengan aturannya semata karena kecintaan mereka pada Panjenengan Kanjeng Adipati. Mereka semua berduyun-duyun kesini karena diajak oleh Setorrai. Mereka iklas patungan, urunan dan nyumbang tenaga siap jiwa raga untuk menyemarakkan kebesaran kekuasaan yang sedang paduka emban,” Tutur Raighedeg.

“Och, begitu. Tapi semestinya kan bisa dilakukan dengan bikin pesta berikutnya di Pendapa kita. Kenapa jauh-jauh kemari meninggalkan wilayah kepemilikan kita yang kaya raya! Kan jadi rapuh kalau nanti tiba-tiba kursiku ada yang nyuri, misalnya! Tapi, ya sudah. Suruh perwakilannya saja yang masuk ke ruang pagelaran. Ini agar pestaku tidak semrawut nggak nggenah!” tegas Adipati LakSa Lupa.
“Baik Kanjeng Gusti. Akan kuperintahkan mereka mundur dengan teratur.” Jawab Raighedeg malu.
“Seto....! Seto...... Hai Setorrai! Suruh semua pasukanmu mundur dari dalam gedung ini. Kanjeng tak mengijinkan kalian masuk!”

“Tidak, Kanda! Aku Setorrai tak akan menyerah. Kami harus bertemu kanjeng adipati. Setidaknya memberi selamat padanya atas pesta yang beliau adakan! Aku akan tetap menjamin mereka masuk dengan aman. Sebab mereka datang ke sini sudah habis-habisan“ jawab Setorrai menantang kakaknya.

“Seto! Kamu ini kurang ajar sekali. Aku ini kakakmu. Apa kamu mau melawan?”
“Maaf Kak. Komitmen kita kakak itu di Kadipaten Cipelem. Di sini aku sudah terdaftar sebagai tamu Sultan. Tadi pagi Sultan telah mempersilahkan kita. Yang jelas kami ini penuh dengan seragam dan siap jabat tangan. Apa salah kalau kami mengucapkan selamat berbahagia untuk keluarga Kanjeng Adipati yang paling kami hormati? Jangan sok kuasa, Kang! Kau tak akan mampu melawan kekuatan kami yang tak tertahankan!” lawan Seto pada kaknya.
Benar saja lima menit kemudian ribuan massa berpakaian Kunir Bosok, dengan bendera berkibaran dan spanduk ucapan: Selamat Berjuang Baginda Adipati!” merekia bergerak menyerbu masuk ke Gedung Budaya Kota Ghede.

Serentak itu juga ratusan tamu agung yang datang dengan kereta kencana tersisih ke pinggir tembok. Rombongan tak membawa kartu undangan resmi ini meskipun bermodal yel-yel Baginda Adipati yang sedang Jadi pusat kehormatan, tetap saja ditahan oleh kekuatan Praja Senior yang sengaja didatangkan lebih awal. Dengan sigap, dan gaya almamater pendidikan yang berwibawa mereka lakukan antisipasi, dengan mata mengancam dan siap pukulan juga tendangan. Mereka berusaha keras menghalangi massa yang tumpah ke ruang makan.
Ditahan begitu, kontan saja massa malah tambah beringas. Beberapa meja dengan tumpukan gelas yang telah ditata indah terdorong keras. Meja pun roboh, ratusan gelas pecah, airnya pun tumpah ruah. Suara gelas pecah menanbah riuh seisi gedung. Deretan masyarakat yang antri memberikan ucapan sukses, semakinpanjang hingga ke seberang lapang dan jalan utama memasuki area keraton. Ini sungguh luar biasa. Meskipun muncul insiden banjir pecahan gelas dan hilangnya air minum, tak membuat antrian bertambah kurang. Hingga sore hingga menjelang malam antrian undangan tak juga berhenti.

Di luar Alun-alun Setorrai dengan bangga menceritakan keberhasilannya pada orang-orang yang masih setia ngantri. Ia merasa telah berhasil memberikan senyuman penuh makna pada kanjeng adipati Laksa Lupha.

“Ingat saudara-saudara, jangan sampai kalian lupa menyebutkan nama dan keinginan kalian kedepan untuk jadi orang penting di Cipelem. Cipelem itu daerah kita sendiri. Wajar toh kalau kita punya hak menduduki kursi empuk jajaran pemerintahan yang kita agungkan sesuai dengan kepiawaian yang kita miliki. Ingat Jasa yang kita upayakan juga harus dikatakan. Jangan sampai beliau lali. Maklum beliau Penggede yang sangat sibuk dengan berbagai pekerjaan dan cita-citanya yang besar. Kalau kalian tidak meneriakkan keinginan kalian, Maka tempat yang kalian inginkan akan diduduki oleh pembisiknya saja yang paling dekat. Mereka bukan orang Cipelem. Tapi Bisikannya bikin Kanjeng merem-merem! Ha...ha....ha...” pidato Setorrai berapi-api dan membangunkan semangat para pengantri yang tetap bertahan seperti semut yang berbaris hendak memungut sisa makanan.

Nun di dalam Gedung tak pernah terpikirkan oleh Seto. Jika pengaruh Setorrai inilah yang membuat suasana pesta dipenuhi teriakan pengakuan jasa dan keinginan jabatan, plus kesiapan kontak politik yang ditawarkan. Melihat tamu yang banyak lebih mengutamakan kehendak ketimbang ketulusan, Kanjeng pun mendadak pinsan. Dalam tak sadar ia bermimpi naik kuda renggong menuju pintu kedua Kedai Sate Kota Bandang yanmg diagung-agungkan.***

0 komentar

Nurochman Sudibyo YS.

ODE PUTRA SANG FAJAR

kusambangi peristirahatan terakhirmu
di bawah vikus binyaminka yang rindang, bunga-bunga pualam.
mengitari altarmu matahariku, pusara tanpa jendela

eggan kulawan kesejukan kotamu
diantara para pendoa, tak ada habis-habisnya
airmata dari orang-orang yang datang
tanpa meninggalkan alamat. Batu marmer hitam
saksikan wewangian dari 1000 ketulusan
yang dialirkan dengan hati khusu. Pagi itu

kucatat kelahiranmu. Kalau saja masih berkuasa,
bung akan tersenyum, menyaksikan negeri
yang pernah kau ukir dengan pahat kemerdekaan ini,
enggan menapaki langkahmu. Bahkan saat menyambut
harimu, cuma dengan spanduk. Renungan suci,
pekik merdeka Putra Sang Fajar
telah lahirkan jiwa raga ke wilayah aneka cuaca
sampai aku kini bersimpuh di kubur batumu,
hanya bisa menunduk di hari kelahiran, belum datang
kesadaran akan persatuan yang kau ajarkan lewat pidato,
tulisan, lukisan, bisikan bahkan api kemarahanmu itu
siapa sebenarnya nasionalis yang religius itu?
siapa religius yang nasionalis itu?
kalau bukan anak-anakmu, yang kini diwarisi realitas
batu-batu dari butiran airmata, sepanjang sejarah bisu. Wahai
matahari yang beranak pinak, tunggu aku sudahi duhulu
khaul ini. Sampai kemudian kutemukan bukti-bukti
permainan dadu dari lawan dan kawan,
yang telah membenamkan namamu di sudut sejarah
yang diburamkan oleh zaman edan.

Blitar, Juni 2001

0 komentar

Nurochman Sudibyo YS.

Lagu Serunai Padi

Sulit mengerti betapa berat menahan airmata
yang meluncur dari bola matamu
meski telah kubentangkan jarak untuk tak terlampau jauh
rindu ini terkapar begitu saja tanpa raga
seperti milir udara laut menampar hamparan padi
lekuk gemulainya pertontonkan kulitnya yang keemasan
dan malai padi pun kini bahwa aroma gelisah cinta
harapan terpendam tumbuh dalam lumpur kesuburan

Sampai pada embun malam menggeriap seperti tirai
yang kasmaran disentuh ujung jemarimu
membatas jarak di perahu sujudku
lalu airmata ini pantaskah kususur dalam tahajud panjangku
sedang gairah telah kurunut menuju sepi mihrabmu
bahkan bulu romaku tak terasa berdiri
dilautan tanpa canda

Inilah syair misteri itu
lantunan hidup yang tak terarah
singgasana sepi bersemayamkan lumut dan noktah hijau
sampai kesejukan mengurungku dalam kamar ketidakpastian
gerimis telah menandai usai siaran di televisi
meninggalkan suara-suara yang memekak telinga
juga senyumanmu, berlari begitu datang rasa rindu
mengibarkan doa – doa bagi kesabaranmu.

Indramayu, 1993

 
Gurit Dermayon © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum