puisi peduli bencana part.1

Jumat, 05 November 2010 0 komentar

Nurochman Sudibyo YS.

SULUK RINEKSO

“...ana kidung rineksa ing wengi, teguh ayu luputa
bilai kabeh, jin setan datan purun
peneluhan tan ana wani.......”

Dan sekujur badanku bergetar atas peristiwa demi peristiwa yang diisyaratkan selang sebulan, usai tarian wedus gembel. Di puncakmu, Merapi. Ku tau baru ada tanda atas cahaya kemurnianmu yang mendekapkan imaji juga masa lalu yang buram. Selalu kidung berkumandang saat pini sepuh mengkhawatirkan riwayat generasi dan artefak yang hilang. Sejak Majapahit, menuju Mataram, Demak, dan kembali Mataram mengulang-ulang sejarah buram. Di sela kemenyan dan wewangen disekujur kerismu Yogyakarta. Memberikan garis-garis untuk menyekatmu seperti dimitoskan tembok dan batu bata. Mengungkap misteri tentang hilangnya blangkon sang sultan. Atau ketakjuban atas trah yang kini tak lagi dimaafkan. Ini memang sekedar kidung, tak bisa hentikan mendung juga hujan airmata di beranda nusantaraku. Penuh raung histeria atas nasib, dan juga kehidupan. Dari retak bumi dan altar sajadahmu Yogyakarta, kami ikuti irama batin bunda pertiwi, untuk bersama peduli pada jasad-jasad yang masih merintih di pondok putih. Pada raga yang diperjuangkan para malaikat, pada nyawa yang masih milik Tuhan. Pada Allah yang baru saja memberimu peringatan. ini kidung bukan gumam, tapi sanubari tak bisa dipendam. Ini sulukku, untuk kotamu yang poranda, Yogyakarta. Kapan kita melayat? menonton, atau peduli untuk mereka yang jadi tumbal keangkaramurkaan.

06-10

Nurochman Sudibyo YS.



SULUK GERHANA

“sun mbesuk maria ngeman yen wonten gerhanane sasi
srengenge kembar lima, lintang alit gumelar ing siti
sedaya tan ana urip. Matia munggah suwarga
neraka sungkan leboni, duh .... mbenjang belah ning
akhireng zaman, isun kelawan sampeyan....” *(sinom)

Kematian demi kematian, adalah peristiwa keseharian. Hilangnya kasih sayang, jawaban atas gerhanamu. Lalu bumi bilur-bilur, lahan impian penuh pencapaian, atas kalah dan menang. Sementara siapa pemilik nyawa-nyawa ini. Sedang peristiwa demi peristiwa telah dibentang beribu tahun dalam kurun waktumu. Lalu berhenti detak nadimu, hanya untuk memaknai kematian. Atau sekedar memberi persoalan hidup. Seribu nyawa, melayang tanpa kasih sayang. itu Kun-Nya Allah. lalu siapa pemilik surgaMu itu. Benarkah untuk kami yang tiap detik Menangis. Di lautan sajadahmu yang panjang. Atau inikah nerakaMu itu. Setiap detik mencengkeram rasa takut, tumbuhkan kekalutan, dibelenggu nafsu kami, seperti untaian tasbih. Ibadah tak berkesudahan. Lalu kemana, hendak kita labuhkan, zikir-zikir peribadatan bumi ini. Sementara antara kita tak ada lagi jarak yang terpisah, selain nafsu juga ketamakan. Atas ketaksabaran memaknai setiap kali isyarat dan peringatanMu. Benarkah kita bisa saling temu menyoal hayat, kematian dan kematian. Padahal peristiwa ini misterimu. Semata hadiah bagi kita yang gersang, untuk terus bersembahyang lewat tarikan nafas La...illa...Ha...illallah....... lewat zikir ini, sembahyangku, lautan. Penuh shampoo, sabun, dan kapas. Sesak kepedulian, sesak diantara para penderma. ‘Ku yakini untuk mengerti. Peristiwa demi peristiwa, tak Cuma sekedar jadi catatan buram di koran-koran dan catatan harianmu yang terbakar .

07.10

Nurochman Sudibyo YS.

DOA LANGIT


Dari langit yang tak mampu kujamah,
kupandangi tanah amsalku
sinarnya tercurah ke bumi, mengalir bersama doa
para pertapa. Diberangkatkan

penunggang kuda kelana
meninggalkan jejak sepatu, jadi fosil
sejarah dan peradaban.



93.10


Nurochman Sudibyo YS.
SKETSA PANTAI


Matahari redup ditikam usia
seperti kantuk daun putri malu
aku cemas menjamah sapuan selendangmu
pelangi. Jiwa ini terbakar semasa hawa jahat
tumbuh subur dibumimu yang ranum
Udara malam adalah selimut sang urban
mencari-cari kesejukan di balik ketiak daun
sungaimu mengalirkan nikmat hidup
seperti laut yang menderu
gelombang keperkasaan menggeliat
menutup lubang tiram di pasir berbuih
inilah kuorta batin ini
selaksa doa digelar dipermadanimu
di bening pantai, kuabadikan
tubuhmu dan kubiarkan telanjang
berlumur malam.



93.10

Nurochman Sudibyo YS.

PROSA KERINGAT

Sabun mandi dan shampoo menggelembung
tangismu alirkan duka ke kujurku
hampir selesai kudirikan
rumah boneka dan garasi mobil
mainanmu



Kutermangu dibelenggu nafasmu yang harum
dari uap sabun dan harum shampoo
menyusup ke ubunubunmu yang ranum

Ketahuilah wangi keringat ini menyimpan
selaksa zikir dan cengkeraman doa.

94.10

Nurochman Sudibyo YS.

DIMANA DIAMMU

Di mana diammu, saat angin mengalirkan deru ombak
dan cuaca dalam bayangan lanskap siang
(aku cari secercah nur yang datang)

Di mana sepimu, saat hujan merintangi jalanjalanku
dan bumi punggungnya bilurbilur disambar petir
(aku menanti datangmu)

Di mana sayapmu, kala malam menenggelamkan mata kita dan dalam terpejam masih menanti mimpi bertemu rembulan
(aku melihat bayanganku sendiri tapi sangsi)

Di mana kelammu, sejak ayam jantan menyambut pagi hari menjelang kebangkitan rohroh jahat
dan pergi sebagai jin atau setan
(aku belum pulas tidurnya)

Di mana, di mana, di mana !
(tetap kuyakinkan untuk terus bertakbir di sini)

94.10

Nurochman Sudibyo YS.

ZIARAH MALAM
Berulang kali kuziarahi kesunyian
do’a ku taman laut dan batu karang
serangkum bunga rumput tergeletak
menandai istirah, perjalanan panjang

Kuikuti gelombang hingga pasang
jemariku buih tempat sembunyi ikanikan
menoreh seribu catatan di pantai
kubangun dari gairahmu
irama seruling dan denting melodi gitar
menjadi getar yang kasat
sedang malam cuma bingkai bagi pekuburan
potretmu, pusara rembulan.

95.10


Nurochman Sudibyo YS.

LANSKAP SIANG

Surgaku adalah semua gelombang
yang belum berhasil kujumpai muaranya,
hingga hilang arusku, berpendaran tanpa bekas
di kedalaman ombakmu aku terhempas
mengusik wajah keruhku

menghamburkan sayat dan jeritan
ku jatuh di ketiak sungaimu
Inilah surgaku, tempat kehangatan datang
dan berulang pergi kembali sekehendak hati
dicari dan mencari ke mana usai
dan perginya
Arusku.

95.10

Nurochman Sudibyo YS.

KEMBARA MALAM

Aku telan mimpi semalaman

pengembaraan belum juga terbenam
telah kusunting alam di atas dadaku. waktu pun
berkarat
penanggalan rontok. menanti datang
selaksa bintang

Di keranda malam ini, sunyi sampai sudah
menjadi sejarah warna warni
dan tak akan ada lagi yang mampu bicara
sebab lidahnya telah tumpul dipatuki zaman
entah sampai kapan.

95.10

Nurochman Sudibyo YS.


PROSA AIRMATA

* Mengenang Masa Lalu “R”


Masih mampu kuurai waktu sambil
memandang ke cermin. Belajar menyingkap
bayangan dan perjalanan air mata
dalam hitungan almanak, tanggal satu-satu

Pada wilayah fantasimu, bayangan kutangkap
hingga jatuh ke mata, jadi rabun dan basah
pipimu diam, dilintasi kesadaran
datangnya cinta yang melegenda. Lewat
surat bersampul merah jambu

Sengaja kupilih berdiam di bingkai potretmu
meski kaca-kaca tak lagi mampu bicara
kupandangi semestamu, hingga rinduku mengalir
menjelma keheningan isyarat matamu.

95.10


Nurochman Sudibyo YS.

JIWA MABUK

Jiwa mabuk, bangunlah
demi kesadaran. Tikar sukmaku
menyeimbangkan sedekapnya jemari
hingga luluh rontok belulang
ke puncak mihrabMu

Bangunlah dan buyarkan ingatan
tegakkan raga dengan pedang
sampai jiwa nempuruk
berlarilah. Pada jembatan ketulusan
harapkan cinta bagi jasad rusak
sampai petir mengawinkan cuaca
dengan suara dan pedangmu
yang bercahaya.

9510

 
Gurit Dermayon © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum