NOVEL Febrie Hastiyanto : Laki-Laki Pada Sebuah Hujan Fragmen I

Minggu, 19 Juni 2011 0 komentar

Laki-Laki Pada Sebuah Hujan
Novel Febrie Hastiyanto

Teruntuk Dee dan
Kepada R di Yosodipuro 81


Catatan dari Laki-Laki Kehujanan

Fakta:

Sejumlah organisasi mahasiswa seperti Ikatan Mahasiswa Solo (IMS), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Komite Pemuda dan Mahasiswa Surakarta (KPMS), Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR), dan Kelompok Studi Mangkubumen (KSM) adalah nyata.

Sejumlah tempat seperti Asrama Mahasiswa Ngoresan, Sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa Kalpadruma Fakultas Sastra UNS, Warung Pak Warno Ngoresan, Warung Mbah Rip Monumen Pers dan Boulevard UNS memang menjadi saksi bisu mimpi-mimpi aktivis Gerakan Mahasiswa Solo 98.

Sejumlah taktik seperti rumah aman (save house), sentra informasi dan grafitti action digunakan aktivis Gerakan Mahasiswa Solo 98 dalam perjuangannya menurunkan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Tidak kurang 10.000 mahasiswa berdemonstrasi di Boulevard UNS tanggal 8 Mei 1998. Merupakan salah satu demonstrasi permulaan menjelang kejatuhan Presiden Soeharto yang melibatkan massa dalam jumlah besar dan berakhir bentrok. 400 demonstran tersungkur cedera, 122 orang diantaranya dilarikan ke UGD RS dr. Moewardi dan 12 orang harus dirawat inap. Dari pihak aparat tercatat 31 petugas cedera dan 3 petugas dilarikan ke RST Slamet Riyadi. Sebagian cerita dalam novel ini merupakan terjemah fiksi atas peristiwa tersebut.

Nama tokoh, karakter, dan cerita dalam novel ini adalah fiksi.

FRAGMEN I
I
DEMI hujan renyai di sore ini, seorang laki-laki tampak duduk termenung di balik kaca jendela kamar kontrakannya. Tidak seperti orang yang termenung kemudian melamun, laki-laki itu justru bergairah. Bulir-bulir hujan yang menetes di kaca diamatinya dengan seksama. Hati-hati ia mengela nafas, satu-satu. Seolah momentum itu tidak ingin dilewatinya barang sekejap tanpa ia nikmati. Ingat pada latihan-latihan yoga yang telah beberapa bulan diikutinya, lelaki itu duduk lebih tegak. Posisi rangka tubuh sempurna. Tapi laki-laki itu tidak duduk dalam sikap siddhasana, posisi sempurna untuk meditasi. Atau disebut juga the perfect pose yang konon dapat meningkatkan sirkulasi darah di punggung dan panggul juga membantu memperlancar pergerakan persendian lutut dan mata kaki. Tidak, ia tidak ingin memulai meditasi. Ia ingin duduk santai saja menikmati detik-detik paling menggairahkan yang ditemuinya sepanjang hari ini.
Karena hujan, dia berpikir rasanya tak seorang pun yang tidak menyukai hujan. Kitab suci yang diyakininya sebagai kebenaran-normatif dan karenanya tidak harus dibantah menyebut hujan sebagai rejeki. Semenjak kecil ia demikian akrab dengan hujan, semenjak menetes satu persatu, mengepulkan debu yang lama-lama basah. Wangi itu, wangi debu yang membuatnya demikian nyaman, seperti buaian ibuk di beranda samping rumah dulu ketika ia masih kecil. Bau tanah yang kemudian berganti tenteram karena dingin cuaca membuat tubuhnya menggigil. Namun ia merenggangkan otot-otot di punggungnya. Justru semakin ingin menikmati gigil yang dirasakannya berbeda dengan dingin malam hari.
Laki-laki itu berharap hujan turun deras sehingga ia bisa bermain-main dengan pikirannya dalam aliran hujan yang membentuk anak-anak sungai di halaman. Aliran air hujan di halaman baginya adalah lembar putih untuk mengkhayalkan semua impiannya. Merenungi semua yang telah dilakukannya. Menjadi bara bagi cita-citanya yang seringkali tertunda hanya karena ia makhluk yang tidak otonom atas kemauannya sendiri. Lama laki-laki itu menatap teduh aliran hujan yang berebut membanjiri halaman menuju selokan. Pastilah di ujung jalan sana air itu tumpah karena selokan tak lagi cukup menampung, ia membatin. Bukan karena selokan sempit melainkan oleh sebab dangkal. Baginya air hujan yang meluber, berwarna coklat keruh oleh lumpur tidak eksotik lagi.
Ah, buat apa merusak kenikmatan yang hanya berbilang jam ini. Dengan berpikir hal-hal buruk dari hujan. Baginya hujan mampu membawanya menikmati semua yang diperolehnya dengan keras kepala selama ini. Baginya hujan telah menjadi teman, karena ia seorang yang seringkali diliputi kesepian.

II
SETELAH memeriksa hasil tes wawancara penerimaan karyawan baru untuk presentasi besok di depan manajemen, Satryo merapikan meja kerjanya kemudian mematikan laptop. Masih sempat meneguk satu hirupan terakhir teh manis di mejanya. Hari sudah benar-benar gelap. Lampu-lampu sudah berpendar. Karena malam ini cerah, cuaca terasa segar. Satryo sudah mulai lapar. Pukul 20.00 kurang sedikit. Memang cukup telat untuk makan malam bagi kebiasaan perut orang Indonesia. Tetapi malam ini ia sudah janji dengan beberapa kawan semasa mahasiswa dulu. Dengan Indah. Juga Aditia yang biasa disapa Bona karena tubuhnya yang gempal seperti kartun Bona (dan Rong-Rong di Majalah Bobo). Waluyo. Eh, ya. Katanya Anita bisa datang. Sudah lama tidak bertemu dia. Anita yang paling jauh bekerja setelah selepas sarjana. Di Surabaya, mengelola bisnis bersama suaminya.
Satryo berusaha mengingat, siapa lagi yang kira-kira akan datang malam ini. Bona, Waluyo, Indah. Ya, ya. Widi. Dia selalu ingat dengan Widi. Widi yang staminanya kuat sekali. Betah melek waktu dulu sering rapat hingga larut. Mungkin karena kala itu Widi mahasiswa arsitektur yang terbiasa begadang mengerjakan tugas kuliah hingga pagi.
Lesehan Bu Yasin di bilangan Kottabarat sudah terlihat agak jauh di depan. Berselang tiga warung lesehan dari traffic light. Jadi nanti bisa santai ngobrol tanpa terganggu polusi kendaraan yang stop sementara menunggu lampu merah menjadi hijau. Selagi memarkir Avanza yang cicilannya belum lunas Satryo sudah membalas lambaian Indah dari dalam warung tenda. Satryo tertawa renyah. Ah, Indah. Masih imut saja dia. Maksudnya perawakannya yang kecil langsing. Jadi bukan pendek. Dulu suka dijuluki Indah ‘BO’, ‘Bimbingan Orang Tua’. Klasifikasi tayangan televisi untuk anak-anak di bawah umur yang perlu didampingi orang tua. Tetapi jangan tanya soal kritisnya saat berdebat. Indah bisa menjadi sangat galak. Satryo tersenyum sendiri saat menerima kupon dari tukang parkir. Pastilah Indah sekarang lebih galak. Soalnya di Semarang dia tercatat sebagai dosen Universitas Diponegoro. Jurusan Ekonomi Pembangunan. Dan aktif di Pusat Studi Wanita. Klop. Soalnya dulu ia sering mengeluhkan soal diskriminasi gender. Juga brengseknya laki-laki.
“Apa kabar rakyat?” goda Satryo renyah. Menyalami satu-satu kawan yang sudah datang: Indah, Bona, dan Widi yang telah lebih dulu tiba. Belum sempat mengucap apa-apa, Satryo sudah tersenyum sendiri. Ah, rasanya banyak yang ingin ditanyakannya kepada kawan-kawan lama ini, satu per satu. Pastilah terlalu banyak cerita mereka.
“Rakyat semakin gila,” cetus Widi. Riang dan tanpa beban. Dalam kamusnya tak ada persoalan yang tak dapat diatasi. Hmm. Masih seperti dulu.
“Lapar bos. Kamu sudah dipesankan kakap bakar. Dicelup ke bumbu dua kali, biar lebih meresap, seperti biasa kan? Sambil nunggu yang lain. Anita bilang nanti menyusul, sekarang masih di Hotel Diamond. Katanya biar anak-anaknya tidur dulu. Sigit suaminya yang akan menjaga anak-anak,” jawab Indah, juga masih sistematis seperti dulu. Senyumnya pun tak berubah. Perasaan Satryo semakin tak menentu. Gembira telah berbagi kabar dan bertemu kawan lama. Maklum saja, sudah hampir sembilan tahun tidak bertemu.
“Es lemon tea kampul juga sudah dipesankan bos. Dua gelas,” Indah lagi. Sambil melirik menggoda. Satryo tersenyum bahagia. Ingat sahabatnya satu ini masih mengingat dengan baik seleranya. Juga es lemon tea kampul itu. Kampul maksudnya mengapung. Jadi jeruk yang habis diperas, dicemplungkan sekalian dalam gelas. Kampul-kampul dalam es lemon tea. Rasa dan aroma masuk semua ke dalam gelas. Dan dua gelas. Kalau yang ini khas Satryo. Paling doyan minum es lemon tea kampul sekaligus dua gelas.
Widi tampak cerah malam ini. Terlihat berbincang asyik dengan Indah. Pastilah nostalgia. Widi jadi arsitek di Biro Konsultan milik temannya Pak Prie dosen pembimbingnya dulu. Hanya Bona yang lebih banyak diam. Keterlaluan juga makhluk satu ini yang tidak bisa menahan lapar meskipun tubuhnya paling subur sejak dulu. Ah, Bona memang tidak bisa lepas dari sesuatu yang bernama nasi. Juga saat ditahan di tahanan Polresta empat belas tahun lewat. Satryo kembali tersenyum sendiri, namun tak lama.
Sesaat kemudian Satryo tercenung. Ingat cerita-cerita dulu. Waluyo belum ada bersama mereka saat ini. Akankah Waluyo datang malam ini? Satryo tidak berani bertanya kepada teman-teman yang lain bagaimana kabar Waluyo dan berada di mana ia malam ini. Satryo menghela nafasnya. Mungkin Waluyo masih mendendam padanya. Karena pilihannya dulu.

III
PESANAN ikan bakar belum juga diantar. Kesempatan ini digunakan Satryo untuk berbagi cerita dengan teman-teman. Satryo masih tersenyum sendiri. Sambil mengobrol ingatannya terbang pada kenangan-kenangan belasan tahun lewat. Ketika mereka sama-sama menjadi aktivis mahasiswa. Dengan mimpi-mimpi dan avonturisme anak muda.
Beberapa hari lalu Anita mengontak Satryo yang hingga kini masih berdomisili di Solo. Anita dan suaminya ada beberapa agenda mengembangkan sayap bisnisnya di Karanganyar, kota satelit sekira 20 kilometer di timur Solo. Satryo tahu, Anita pastilah ingin sekalian bertemu dengannya. Karena itu Satryo mengontak Bona, yang menjadi wartawan di Jogja. Bona tertarik.
Tak lupa Satryo mengontak Widi. Meskipun awalnya tak berharap banyak karena Widi bekerja di Jakarta, Widi menjanjikan akan hadir. Dan ditepatinya malam ini. Lalu Indah yang bekerja di Semarang. Meski mereka bersahabat lebih dekat dengan yang lain namun Satryo juga sudah lama tak bertemu Indah. Mereka semua telah berkeluarga kecuali Indah. Studi Doktornya sudah diselesaikan di Malaysia. Tapi entah mengapa Indah belum berminat menikah juga.
“Besok saya hanya mau menikah setelah kamu menikah,” kata Indah saat Satryo menemaninya mencari buku di pusat kulakan buku bekas tepat di belakang Stadion Sriwedari. Mereka sama-sama sedang mengerjakan skripsi kala itu sesaat setelah pemerintahan baru Indonesia terbentuk dari gerakan reformasi yang antara lain dipelopori mahasiswa. Satryo telah berencana segera lulus, mencari kerja, dan meminang Aliffa mahasiswi Teknik Industri yang telah hampir tiga tahun mengisi hari-harinya.
Satryo mengintip ekspresi Indah dari balikan tumpukan buku. Indah serius membolak-balik buku. Satryo kesulitan menebak makna pernyataan Indah ini. Ingin menanyakan langsung Satryo tak berani. Takut hal-hal buruk terjadi. Seperti pertemanan yang goyah.
Satryo hanya menghela nafasnya. Meski selama ini dekat, Satryo membatasi diri untuk tidak bercerita banyak soal-soal asmara. Baginya Indah sahabat yang paling menarik diajak berdiskusi. Anaknya cerdas. Sistematis. Cenderung tak banyak cingcong, dan irit canda. Mereka berdua teman satu angkatan, satu fakultas namun berbeda jurusan. Satryo ingin menjadi Akuntan, Indah mengambil Ekonomi Pembangunan. Meski sering bertemu, mereka baru intens berbicara setelah sama-sama mengikuti basic training, orientasi penerimaan anggota baru Perhimpunan Mahasiswa Solo, yang disingkat PMS.
Awalnya Satryo tak ingin terlalu jauh menjadi aktivis mahasiswa apalagi menceburkan diri dalam gerakan-gerakan panas mahasiswa Solo menjelang kejatuhan Soeharto. Sejak semula Satryo ingin menjadi akuntan. Bekerja kantoran, memakai dasi dan memiliki pendapatan yang cukup untuk membina satu keluarga kecil. Apalagi akuntasi mata pelajaran yang paling ditunggu Satryo saat Sekolah Menengah Atas dulu. Saat guru menerangkan pelajaran, Satryo menyimaknya dengan teliti: kertas kerja sepuluh kolom, worksheet, atau mengerjakan soal-soal bercerita, debit dan kredit satu Usaha Dagang. Kali lain mengerjakan laporan keuangan Perusahaan Otobus. Belajar akuntansi membuat imaji Satryo membayang ke mana-mana. Menjadi direktur, berkelas, intelektual.
Semester-semester awal diisi Satryo dengan aktif berkuliah di samping terlibat dalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Satryo tahu Indah juga belum menjadi anggota Perhimpunan Mahasiswa Solo. Mulanya Satryo mendengar Indah aktif di Badan Penerbitan Mahasiswa atau Bapema yang menerbitkan Majalah Valuta. Sampai kemudian terjadi sejumlah peristiwa di kampus yang mengubah jalan hidup Satryo. Diantara masa-masa menegangkan sekaligus manis itu dilalui Satryo bersama sahabatnya: Indah.

Cerpen : ” KEMAT JARAN GUYANG”

Sabtu, 04 Juni 2011 2 komentar

” KEMAT JARAN GUYANG”

cerpen: Nurochman Sudibyo YS.

Dari 6 potongan adegan yang kusimpan dalam folder ini. Naskah aslinya sudah terbukukan, “Migrasi dari Gamelan ke Gitar dan Suling”. Agak lama memang tertata di lemari tua. Tarling dan muasalnya dalam sampul coklat tua nan lusuh. Sampai kemudian mencoba kutulis kembali. Belum bisa dikatakan sebagai sinopsis. Cerita mitologi masyarakat Pantura; Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu dan konon entah telah merambah pula ke seantero nusantara. Tiba-tiba ingin sekali meringkasnya kembali menjadi drama yang menegangkan. Kisah masyarakat petani dan nelayan. Serasa mengalirkan sungai dengan komposisi dawai serta liukan seruling di panggung legenda yang dikemas tragis semalam suntuk.

Aku teringat Shakesphiere dengan kisah Romeo dan Yulietnya. Saat mana pesta tasyakuran menjadi ajang pentasmu. Di panggung berpuluh tahun lalu, untuk kedua kalinya kusaksikan purnama. Di bawah rindang pisang, dibatas pagar bambu di antara tahun 70-80 an, pertunjukkan dibumbui tarian atraksi lokal gadis bergoyang nari jaipongan.

Kudengar malam mulai menyebutkan tajuk acara, ”Ajian Kemat Jaran Guyang”. legenda Baridin dan Suratminah. Aku menyebutnya cinta yang kandas. Namun ingatan itu semakin menempatkan aku jadi "Baridin", menembangkan puisi dengan irama gitar dan suling.

Aku jejaka tua, penunda masa lajang. Bergaris ekonomi yang menjepit. Bapakku tak lagi mengenal pulang karena pailit. Kupilih berteman dengan ibu. Mbok Wangsih, buruh tani dan penjual pisang. Aku Baridin. Kepada Mbok Wangsih di gubuk bambu yang sederhana. Di pinggiran bengawan dengan sepuluh pohon pisang, juga nangka welanda. Satu tandan masak di pohon. Ibuku janda yang mendidikku bertahan hidup. Aku si tukang mluku, petani pembajak sawah. dan kau tau kerbau penariknya, kupinjam dari Pak Haji Darkum. Petani kaya yang pendiam karena sadar dan taan akan hukum.

Sapai suatu hari Mang Bunawas beri tugas membajak sawah di batas desa Dukuh rengas tak jauh dari bengawan Pemali. Secepon tumpeng dan bekakak ayam, untuk pengikat, juga uang bayaran. Upah kuterima, padahal kerja belum kulakukan. Pagi melepas sarapan. Weluku kupanggul menuju lahan yang jadi tujuan.

Sebuah desa pinggiran kota sumber Bawang, Bapak Dam saudagar kaya raya, dengan modal kesombongan, sikap angkuh dan pelit, hidup bersama anak gadisnya. Perempuan bermata teduh, cantik dan tubuh yang sangat sempurna. Suratminah sebutan kesehariannya. Rumah besar berhiaskan taman, arsitektur mewah, dan Bapak Damiri, pagi itu melepas putrinya ke pasar, memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya. Sebagai keluarga tanpa ibu, tanpa pembantu, Ratminah sudah terbiasa dengan kewajiban rutinnya.

Sepeninggal sang anak, Haji Damiri berkelakar dengan tetangga. Seperti kebiasaan buruknya memamerkan harta benda. Selalu saja begitu. Namun giliran menugaskan apa saja yang diinginkannya, baqhil pula ulahnya. Begitu pula di saat datang tukang ramal yang mampir ke rumah besarya. Bapak Dam tak mau membayar jasa sang peramal, karena dalam ramalannya ia akan jatuh melarat dan anak perempuan satu-satunya akan jadi gila. Ia usir si peramal sembari mengumpat dan terus mengumpat.
*
Pinggir jalan sebelum masuk pasar, Ratminah digoda pemuda brandalan yang memuji kecantikannya dengan harapan disambut baik. Tapi Suratminah malah menghardik. Dengan angkuh ia pun mendongakkan kepalanya. Sebagai wanita anak orang terkaya di kotanya, Ratminah berhasil melawan. Namun niat berbelanja pun tertunda. Hari itu ia dikesalakan meladeni kekurangajaran para brandal dan munculnya Baridin yang mengajak berkenalan dan bercumbu rayu dengan weluku yang jadi andalannya.

Bagi lelaki desa dengan perlengkapan bajaknya, Pertemuan dengan Suratminah menimbulkan gejolak asmara, Baridin benar-benar jatuh cinta. Ia merayu dengan tembang penuh sanjungan. Namun suratminah dengan seenaknya membolak-balikkan kata, berkelakar pada Baridin sembari terus mengejeknya. Batinnya bergejolak. Jujur saja ia pun tertarik dengan sapa santun Baridin. Namun melihat kondisi baridin dan status ekonomi yang selama ini dibanggakannya membuat benak kepalanya berdenyut, saling berebut menentukan kebenaran. Tapi hati dan isi kemalanya tak kompak. Baridin dianggap tak bercermin. Dirinya hanya pemuda miskin. Dengan pakaian compang camping, celana rombeng berhiaskan tambalan serta bau tubuh pengak sebagaimana harum keringat para petani kebanyakan.

Tiba-tiba datang anak-perempuan bertubuh kecil teman bermain Suratminah. Tanpa perintah serentak ia ikut mengejek Baridin. Mereka bucahkan perhatian Baridin yang asik merayu dan memuja Suratminah.

Gara-gara pertemuannya itu dan kesannya pada Baridin, Suratminah pun gagal berbelanja. Ia kesal dan pulang. Begitu juga Baridin. Ia gagal menggarap sawah Mang Bun. Ia pun kembali pulang ke rumahnya dengan wluku yang masih kering.

Mbok Wangsih kaget bukan kepalang, hari masih siang, persoalannya karena uang bayarannya dan brekat tumpeng sudah habis dimakan. Sementara Weluku milik Baridin tak berbau lumpur. Baridin terdiam dihentak kebisuan, ia asyik melamun di sudut rumah setelah memarkir weluku andalannya. Ia mulai membayangkan pertemuannya dengan Suratminah. Ia lupa apa yang ditanyakan ibunya. Bahkan saat Mang Bun datang menanyakan mengapa sampai gagal menggarap sawahnya. Dengan santai ia mengucap. “Kalau masih ada esok kenapa harus marah-marah?,”

Mang Bun meminta uang dan Brekatnya dikembalikan. Baridin dengan santai meminta agar ibunya menyerahkan apa yang Mang Bun pinta. Mbok Wangsih gelisah, bagaimana harus mengembalikannya. Brekat sudah habis dimakan, Uang telah ludes dibelanjakan. Baridin pun dengan santai menjawab ; “kalau tak ada ya gunakan sarungku sebagai jaminan”. Mang Bun akhirnya menerima saja Sarung kebanggan Baridin, meski sudah bau apek dan buluk dimakan lapuknya usia.

Mbok wangsih malu sekali atas ulah anaknya yang cepat sekali berubah. Namun ia menjadi girang manakala Baridin berterus terang. Diceritakan kalau dirinya tengah jatuh cinta pada seorang gadis yang tak bisa dilupakannya. Ia menginginkan gadis pujaannya itu menjadi teman hidupnya. Bayangan Mbok wangsih ikut melayang, ia akan punya menantu, selanjutnya kelak akan menimang cucu dan rumahnya bakal diramaikan suara bayi. Liar sekali hasratnya. Namun ia menjadi kaget bukan kepalang manakala perempuan yang dicinta anaknya adalah gadis kaum berada. Suratminah anak saudagar bawang kaya raya di kota Brebes. Tapi saking cinta dan sayangnya pada Baridin, Mbok Wangsih tak kuasa menolak permintaan anak lelakinya itu untuk melamar Suratminah binti Haji Damiri. Berbekal setandan pisang imbuhan, dari pohon pisang yang telah diunduh dari samping rumahnya. Mbok wangsih berangkat menuju Brebes dengan petunjuk arah putra terkasihnya, baridin bin takmad.

Di rumah H. Damiri, di pinggir utara Kali Pemali, kota Berbes dalam suasana yang terang benderang. Namun Rasa bingung mengiang dikepala Bapak Dam. Anak perempuannya pulang dari pasar dengan wajah cemberut sembari memulangkan uang belanja. Saat ditanya berbagai hal Ratminah yang masih kesal dengan anak-anak pemuda tak menjawab. Apalagi jika mengenang Baridin yang tiba-tiba jatuh cinta dan mengutarakan hasrat hatinya. Ratminah pusing karena menyimpan kesan tersendiri pada Baridin yang lucu, lugu dan konyol itu. Namun dia harus tetap angkuh untuk menunjukkan status sosialnya sebagai anak saudagar kaya. Ia pun tak berani berterus terang pada bapaknya soal rasa aneh yang bergejolak di hatinya.

Bapak Dam mengingatkan Suratminah untuk menikah saja, ketimbang sering kali digoda pemuda. Harapannya Suratminah menerima lamaran siapapun dari pemuda yang dicintainya. Bapaknya ingin isi rumahnya ada tangisan anak manusia yang lain, tidak seperti hari-harinya yang senyap. Kalaupun ada suara lain, cuma ada lima jenis kicau burung perkutut, salak Si Bopi, anjing peliharaan dan suara Tokek sembunyi menghiasi rumahnya. Ratminah diam membukam saat ditegur ayahnya. Dia bingung, siapa yang kelak harus dipilih sebagai suaminya. Sejujurnya ia malas untuk terus melanjutkan sekolah. Namun begitu ia belum mengerti soal cinta. Dan ia sendiri butuh izasah sebagai bekal perjalanan hidupnya kelak.

Sampai kemudian Datang bergantian para pelamar yang disambut keceriaan Bapaknya. Sayangnya setiap kali datang pelamar setiap kali itu juga Ratminah menolak. Semua pelamar yang di tolak mentah-mentah itu berkumpul. Diantara mereka ada Seniman tarling, Saudagar, Juragan, insinyur dan seorang kondektur. Mereka dengan kompak menceritakan pengalamannya dan menyamakan kebenciannya. Mereka datang bersama-sama, melakukan penyerangan dengan mengejek dan menghujat Ratminah serta bapa Dam yang tak kuasa untuk berpihak. Dasar orang kaya, berkuasa pula jadinya. Bapak Dam dan Suratminah, berhasil mengusir para lelaki yang gagal melamar itu. Namun baru saja hendak masuk ke ruang tengah, rumahnya kembali bergetar, pintu depannya diketuk seorang wanita yang datang sembari terheran-heran menyaksikan kemewahan rumah bapak Dam. Suara Bopi tak henti menyalak, ia mengira perempuan itu pengemis tak diundang.

Saat membuka pintu, Ratminah langsung memberi uang sedekah. Perempuan itu menolak. Aku Mbok Wangsih, Ibunya Baridin. Perempuan itu tertegun menatap kecantikan Suratminah. Pantaslah jika Baridin terpesona ingin meminangnya. Suratminah memanggil bapaknya mendengar perempuan itu punya tujuan bukan hendak mengemis. Bapak Dam jadi bertambah kesal. Baru saja ia dipusingkan ulah arogan para pelamar yang ditolak Ratminah, eh datang lagi perempuan aneh. Semakin mangkel pula manakala Mbok Wangsih mengutarakan hasratnya hendak melamar Suratminah untuk Baridin, putra yang dicintainya.

Mendengar itu Bapak Dam serta merta menghina, mengejek kemiskinan mbok Wangsih. “Hanya dengan pisang setundun, kamu hendak melamar anak saya?”. Setelah tertawa, bapak Dam, dengan keras menolak dan mengumpat kelancangan Mbok Wangsih. Ia menghardik dan mengusirnya. Namun Mbok Wangsih justru memaksa minta lamaranya diterima, demi anak lelaki yang dicintainya, Baridin. Mbok Wangsih meminta Surtaminah untuk menjawabnya.

Manakala Bapak Dam menolak dan menghina, Mbok Wangsih masih maklum. Namun mendengar Suratminah menolak lamaran, bahkan dengan keras ia menendang, dan meludahi mukanya sembari melemparkan pisang bawaan ke tubuhnya. Hati Mbok wangsih sakit perasaannya terkoyak. Nafasnya terasa sesak. Ia hampir tidak percaya dengan pengalaman yang dilihatnya. Ia menyalahkan Baridin yang tak bercermin dahulu sebelum menentukan keinginannya. Dengan tubuh lunglai dan hati yang robek Mbok wangsih meninggalkan rumah bapak Dam. Rasa kesal dan marah pun kian tertuju pada Baridin yang telah mempermalukan ibunya sendiri.

Di gubug bambu beratap rumbia, Baridin menatap langit bercahaya rembulan dengan keindahan semburat merah yang memancar dari tepian mega-mega. Bagai impian dan harapannya yang berpendaran di dalam isi kepalanya. Sedang asyik melamun hingga ke puncak harapannya bisa menikahi gadis pujaannya, Suratminah. Berkat usaha ibunya yang kini tengah seharian melamar dan belum juga pulang. Baridin dikejutkan dengan kedatangan Ibunya yang datang dengan wajah sedih dan buntelan pisang yang masih utuh.

Baridin pun bertanya, barangkali saja ibunya kecapean karena tidak berhasil menemukan rumah Suratminah. Namun apa yang dikiranya justru terbalik. Ibunya gagal melamar Suratminah untuk dipersanding menjadi istrinya. Baridin tertegun dengan apa yang diceritakan ibunya.

Marah dan bercampur perih yang dilampiaskan ibunya, masih bisa diterima oleh Baridin, karena ia mengakui kemiskinan yang selama ini menjerat hidupnya. Namun sikap angkuh Bapak Dam dan Suratminah yang tak disangka dengan begitu berani menghina dan meludahi wajah ibunya, justru yang membuat Baridin menjadi sakit dan mendadak sontak ia robah rasa cintanya menjadi benci, kemarahan bercampur dendam pun tak tertahankan.

Bertambah lagi manakala mbok Wangsih mengusirnya, karena merasa dipermalukan oleh sikap tolol Baridin. Mbok wangsih dengan kemarahan yang meluap, malam itu mengusir anak kesayangannya dari rumahnya sendiri. Mbok Wangsih malu dengan sikap anaknya yang tak mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kemelaratan yang melanda keluarganya.

Baridin, sembari menahan tangis batin yang tersayat, terus berjalan di kegelapan malam. Ia berjalan sampai jauh ke arah Kulon, sembari mengumbar dendamnya. Sampai kemudian ia bertemu dengan sahabat karibnya.
Gemblung Binulung. Teman dengan wajah gemblung tapi suka sekali menolong tanpa embel-embel bendera pamrih dan keinginan lain dengan bungkus macam-macam kemasan. Gemblung prihatin atas nasib Baridin. Sebagai sahabat, kembali ia berniat menolong untuk meredakan api cinta Baridin pada Suratminah. Baridin tentu saja tak langsung percaya kalau Gemblung yang berwajah bloon itu mampu memberi pertolongan atas nasib sialnya. Tapi setelah gemblung menunjukkan ajian peninggalan mendiang bapaknya, dan Baridin mencoba membaca rapalan dari kertas tua berjudul Ajian Kemat Jaran Guyang, ia pun kemudian berniat mencobanya.

Atas nasehat sahabatnya itu, Baridinpun kemudian mandi untuk bersuci. Ia lakukan niat berpuasa pati geni selama 40 hari empat puluh malam, dengan membaca niat di malam kelahirannya. Sekitar pukul 12 malam. Ya, malam itu dalam keremangan, suasana yang wisik. Baridin Merapalkan Ajian Kemat Jaran Guyang.

“Niat isun arepan ngemat....dudu ngemat-ngemat tangga, dudu ngemat wong balik pasar. Sing tak kemat bocah wadon ayu, gembleng rupane, ayu pisan mesem gemuyune anake Bapak Dam wong sugih mlawa dunya ning Kota Brebes. Teka welas ...teka asih...asiha ning badan isun, nuruta ning badan isun, kedanan ning badan inun.... Yen lagi turu gage tangia, gage nglilira, njenggeleka, mlakua, mlayua ngundang-undang aran isun, karo brengengea kaya jaran guyang.....”

Alam sepenuh jagat tiba-tiba bergetar. Langit memunculkan udara panas. Bau kemenyan yang melemah merambah ke mana-mana. Ratminah yang berada di tempat yang jauh pun merasa baunya. Hingga ia bangun dari tidurnya. Ia yang lemah imannya dan yang dalam hidupnya selalu sombong bahkan kerap berlaku angkuh, malam itu dibangunkan dari tidur.

Di rumah Bapak Dam, menjelang pukul satu pagi. Lelaki dengan usia senja itu dikesalkan dengan bunyi tokek yang berulang-ulang. Kekesalan Bapak Dam dikarenakan saat dihitung suara tokek itu, jatuhnya selalu pada hitungan miskin. Begitu juga saat dibalik tetap saja pada hitungan jatuhnya ke miskin. Begitu juga disaat penabuh Tongprek lewat tengah malam. Yang aneh dengan belum tidurnya bapak Dam. Saat ditanya soal Bunyi tokek pun Bapak Dam malah kecewa dan membuatnya lebih puas ngedumel sendiri.

Pagi hari harinya kekesalan pun terus bermunculan. Bapak Dam kaget dengan ulah Ratminah yang malas-malasan dan sedikit-sedikit tertawa cengengesan sendiri sembari mengucap kata-kata yang aneh dan menyebut-nyebut nama Kang Baridin. Sementara Bapak Dam tak mengerti siapa itu Baridin.

Kekesalan Bapak Dam, semakin bertambah saat meminta Ratminah nggodog Wedang, setelah ditunggu lama ia muncul membawa golok. Saat disuruh mandi dia malah diam menyendiri. Lagi-lagi Ratminah menyebut kata Kang Baridin secara berulang-ulang. Bapak Dam tambah bingung maelihat anaknya kini tengah berdandan dengan pakaian yang sangat lecek, dengan rambut diuraikan tak teratur. Lalu Ratminah keluar rumah sembari bertanya pada tetangga tetangganya; ‘”dimana ya Kang Baridin?”

Ratminah terus berjalan dan semakin jauh meninggalkan rumah serta bapaknya. Ia berjalan dengan cepat, berlari seperti kuda yang tak kenal lelah. Ia berteriak-teriak seperti jeritan kuda kesakitan dan berulang menyerukan nama; Kang Baridin. Ratminah lupa makan, lupa minum. Ia teriakkan keinginannya untuk bertemu kang Baridin. Ratminah terguncang jiwanya. Sikapnya berubah labil. Dia sangat memuja Baridin. Ia terus menembus waktu, berjalan cepat sembari mengundang nama Baridin. Ia menjadi tertawaan anak-anak karena dia layak juga disebut Wong Edan.

Bapak Dam pun secara serentak mendadak pula jatuh miskin. Uangnya dihambur-hamburkan untuk memberi upah pada tetangga dan orang-orang yang mengaku bisa menyembuhkan Ratminah dan siap mencari Suratminah. Namun tidak ada yang berhasil. Sampai suatu hari ia mengalami kerugian besar, karena orang yang mengira berhasil mendapatkan Ratminah dengan ciri-ciri rambut Terurai dengan pakaian rombeng dan setiap kali menyebut kata Baridin ternyata salah. Bukan Ratminah. Perempuan yang juga menjadi terlunta-lunta mencari Baridin adalah Mbok Wangsih. Akibat salah persepsi itu, Bapak Dam pun kecewa. Ia tersentak jiwanya. Akhirnya ia pun pergi meninggalkan rumah. Eentah kemana ia harus ikut berjalan tertatih-tatih mencari anaknya sembari menangis dan terus menagis.

Mbok wangsih kini terikat di halaman rumah besar dan mewah yang sepi, dalam kekuasan Bapak Dam akhirnya hanya mampu menangis dan berteriak memohon pertolongan. Dalam jeritannya ia berjanji jika ada yang bisa menolongnya, kalau ia seorang laki-laki maka ia bersedia menjadi suaminya. Sumpahnya terdengar oleh Gemblung Binulung. Ia lah yang menyelamatkan Mbok Wangsih dan memberi petunjuk keberadaan Baridin di Desa Jagapura. Namun Mbok Wangsih menolak diajak kawin oleh Gemblung Binulung. Selain usianya masih sangat muda, Gemblung itu sahabat karib Baridin. Lebih-lebih lagi karena gemblung itu orangnya ya memang gemblung. Tapi mbok Wangsih tak kuasa menerima kebaikan Gemblung binulung. Ia tak kuasa ucul gelung ngrangkul gunung,”

Di Desa Jagapura suatu siang. Baridin saat itu tengah bekerja membajak sawah sembari melecut cemeti ke tubuh Kerbaunya. Baridin bernyanyi mengenang hati sanubarinya yang perih merana. Ia masih juga puasa dan belum mau berbuka, sebelum melihat dengan kepala sendiri hasil ajian yang dilakoni atas petunjuk sahabatnya gemblung Binulung. Sampai kemudian Suratminah datang. Di pinggiran sawah yang tengah digarap Baridin. Wanita yang dulu dipuja dan dicintainya itu datang memanggil-manggil namanya sembari menangis. Wajahnya yang cantik terbaur debu jalanan. Bajunya compang camping dipenuhi noda hitam dan bau lumpur akibat perjalanan jauh. Suaranya kian serak, karena tersus memanggil-manggil nama Baridin. Ia menangis di kaki Baridin, sembari meminta maaf. Namun Baridin tetap tegar. Ia hanya terdiam. Belum sampai mengeluarkan kata maaf, Baridin malah mbongganaken sikap buruk dan kesombongan Suratminah serta Bapaknya yang menghina Mbok wangsih, ibu yang sangat dicintainya.

Ratminah tak kuat lagi menahan cinta dan kasihnya. Ia peluk Baridin dengan sisa tenaganya. Saat itu juga Ratminah roboh. Tubuhnya lemas. Matanya menjelipak, wewalangen. Ia pun meninggal dunia. Baridin tersentak. Penduduk setempat mengebumikan jenajahnya di Pekuburan Desa Jagapura.

Sore harinya menjelang magrib usai tahlillan almarhum Suratminah, Baridin mendadak terjatuh tak kuat dengan kondisi tubuhnya yang lemah. Niatnya hendak berbuka puasa selepas magrib gagal. Ia pun meninggal dengan tubuh meluruk di atas tanah di hadapan majelis tahlil.

Esok harinya masyarakat Desa Panguragan menguburkan jenajah Baridin di samping kuburan Suratminah. Mereka menjadi pasangan cinta yang agung di alam kubur. Sedang kedua orang tua dan sahabat-sahabat yang dicintainya hanya bisa tertunduk haru di makam kedua pasangan yang gagal menyatu menjadi pasangan cinta dunia, akibat perbedaan status ekonomi yang mencolok. Tangisan dan airmata berjatuhan dimana-mana. Bahkan saat ku tulis kembali kisah ini. Aku pun menangis. Menangis, kenapa kemiskinan selalu saja menjadi sumber petaka atas kehidupan manusia di dunia ini.***
2011

Nurochman Sudibyo YS. Jurnalis, Penulis, peneliti dan pekerja seni budaya kelahiran Tegal (Jawa Tengah) 24 Januari 1963. Puisi, cerpen, Esai, catatan perjalanan,geguritan, cerita legenda dongeng anak naskah drama dan sendratari. Dipublikasikan di berbagai media tak terkecuali puisi-puisinya yang berkali menghiasi Majalah Horison, di tahun 90-an. Kumpulan Puisi Tunggalnya “Payung Langit” (1993), “Malam Gaduh” (1995), Soliloqui (1997) dan “Gerhana Bumi” (2000). Kumpulan Guritannya telah terbit di “44 Gurit” (2006), “Godong Garing Keterjang Angin” (2007), “Blarak Sengkleh” (2008), “Bahtera Nuh” (2009), “Pring Petuk Ngundang Sriti” (2010). Kumpulan Puisi Basa Cerbon bersama Ahmad Syubanuddin Alwy; “Susub Landep” (2008), “Nguntal negara” (2009) Dan “Gandrung Kapilayu (2010). Kumpulan Puisi Tegalan “Ngranggeh Katuranggan”(2009). Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi bersama “Kembang Pitung Werna” (1992), “Kiser Pesisiran” (1994), Antologi Penyair Indonesia “Dari Negeri Poci” Th 1996, antologi puisi dan cerpen Indonesia moderen “GERBONG” Yogyakarta (Th.2000), “Antologi Penyair Indonesia HUT Jakarta” (1999), Antologi “Lahir Dari Masa Depan” Tasikmalaya (2001). Antologi “Dari Negeri Minyak” (Th.2001), Antologi “Sastrawan Mitra Praja Utama” (2008). Antologi “Pangikat Serat Kawindra” (2010), dan Antologi “Perempuan Dengan Belati di Betisnya” Taman Budaya Jawa Tengah (2010). Sebagai penulis Indonesia ia tercatat dalam buku “Lesikon Sastrawan Indonesia” Kory Layun Rampan -Balai Pustaka, dan “Kamus Sastra Indonesia”, ditulis oleh Pamusuk Eneste terbitan Kompas. Kini meski tinggal dan menetap di Slawi Kabupaten Tegal. Berkali tampil membacakan puisi dan menjadi juri puisi di berbagai kota. Sejak awal tahun 2010 bersama Dyah Setyawati mementaskan lakon puisi secara berkeliling, dengan memadukan unsur tradisi guritan, tembang, suluk, wayangan dan tari, bertajuk “Pangikat Serat Kawindra”, “Kupu Mabur Golet Entung”, “Kembang Suket”, dan “Nagari Corong Renteng”. Penyair dan dalang tutur ini sejak tahun 1990 menjadi Ketua Medium Sastra & Budaya Indonesia. Alamat Alamat : Jl. Jendral Sudirman No.69 Indramayu 45212. Jawa Barat. Sekretariat Komunitas Asah Manah & Rumah Kreatif Gang Sadewo No.22 Rt 02 RW.04,Dukuh Sabrang, Kelurahan Pangkah Kec. Pangkah Kabupaten Tegal: Mobile: HP.085224507144 – 087828983673. E-mail: nurochmansudibyoys@yahoo.co.id, sakti_artmng@ymail.com dan Website: www.guritdermayon.co.cc, www.kembangsuket.blogspot.com, www.tropong.com

 
Gurit Dermayon © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum