Penyair Tegal - Nurochman Sudibyo YS - Reposisi Hujan

Minggu, 24 April 2011 0 komentar

Nurochman Sudibyo YS.
Reposisi Hujan
--Kontuksi Hari Tanpa Jati

Sedemikian deras diguyurkan kearifan demi kearifan, tak tertahan
atas seluruh kendaraan yang kita tumpangi bersama. Sedang hujan
tak lagi cuma sekedar sumber dari airmata
subyektifitas kecemasan demi kecemasan, dunia yang asing
bersama kita amini. Lalu sebagaimana angin, melaju sekeras batu
terlempar mengatasi dinginnya layar gerak informasi yang acak

Silih berganti negeri ini dihujani keperihan dan ketakpercayaan diri
seperti orang-orang menenteng timbangan dan merentalkannya
sepanjang jalan. Berat sama dijingjing, uang pun dipertimbangkan
mata merah mereka bukan karna tak tidur, sebab terus membaca
begitu detail dan telitinya setiap komponen yang kau bangun
dari ruang keterasingan. Aturan main dan tatanan hukum poranda

Hujan tak terus-terusan jadi permasalahan. Tak Cuma di lembar tisue
namun juga di ahir menu makan malam, usai rasakan ban kempes
karena lubang sepanjang jalan pantura mengajaku berdansa
batu-batu membiarkan aspalnya mengelupas. Jadi kendaraan roda dua,
kawin siri, belanja tak henti-henti. Dengan alasan beribu kemacetan
seluruh komponen struktural dan kelembagaan yang hirarkis

Ranah hukum mana akan di utamakan, wahai tuan dan nyonya-nyonya
selagi masih bertumpuk acara makan malam dan undangan salsa
sementara rakyat adalah kita yang menanti hujan
mengairi mulut anak dan istrinya. Di kebun singkong
daun-daun jadi energi berkekuatan maha dasyat
atas banyaknya perubahan. Sedemikian besar anggaran diperuntukkan
bagi sebuah konstruksi hujan, mengusung hari-hari bersejarah
tanpa kesejatian diri. Tanpa ketulusan budi, Sembari menyadari
kebersamaan untuk menentukan sudah berapa banyak
orang-orang yang membenci . Hujan atau kembali ke pesta
mencapai sebuah bangunan. Menyoal kemaslahatan negeri bayang
yang dimitoskan; Ibu Dewi Nawang Wulan, Nyai Pohaci, Ratu Kidul,
Ibu Dewi Lanjar, dan Ibu Dewi Siti Fatimah?
: Kita asyik melarutkan mimpi sepanjang tidur, sembari membayangkan
esok datang pesulap negeri ini yang handal merubah kahanan.

2011.

Nurochman Sudibyo YS - Penyair TegalNurochman Sudibyo YS. Pekerja seni dan budaya kelahiran Tegal (Jawa Tengah) 24 Januari 1963. Menulis Puisi, cerpen, Esai, catatan perjalanan dan geguritan. Dipublikasikan di berbagai media masa sejak tahun 90-an. Kumpulan Puisi Tunggalnya “Payung Langit” (1993), “Malam Gaduh” (1995), Soliloqui (1997) dan “Gerhana” (2000). Kumpulan Guritannya telah terbit di “44 Gurit” (2006), “Godong Garing Keterjang Angin” (2007), “Blarak Sengkleh” (2008), “Bahtera Nuh” (2009), “Pring Petuk Ngundang Sriti” (2010). Kumpulan Puisi Basa Cerbon bersama Ahmad Syubanuddin Alwy; “Susub Landep” (2008), “Nguntal negara” (2009) Dan “Gandrung Kapilayu (2010). Kumpulan Puisi Tegalan “Ngranggeh Katuranggan”(2009). Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi bersama “Kembang Pitung Werna” (1992), “Kiser Pesisiran” (1994), Antologi Penyair Indonesia “Dari Negeri Poci” Th 1996, antologi puisi dan cerpen Indonesia moderen “GERBONG” Yogyakarta (Th.2000), “Antologi Penyair Indonesia HUT Jakarta” (1999), Antologi “Lahir Dari Masa Depan” Tasikmalaya (2001). Antologi “Dari Negeri Minyak” (Th.2001), Antologi “Sastrawan Mitra Praja Utama” (2008). Antologi “Pangikat Serat Kawindra” (2010), dan Antologi “Perempuan Dengan Belati di Betisnya” Taman Budaya Jawa Tengah (2010). Sebagai sastrawan tinggal dan menetap di Slawi Kabupaten Tegal. Berkali tampil membacakan puisi dan menjadi juri puisi di berbagai kota. Sejak awal tahun 2010 bersama Dyah Setyawati mementaskan lakon puisi secara berkeliling, dengan memadukan unsur tradisi guritan, tembang, suluk, wayangan dan tari, bertajuk “Pangikat Serat Kawindra”, “Kupu Mabur Golet Entung”, “Kembang Suket”, dan “Nagari Corong Renteng”. Penyair dan dalang tutur ini sejak tahun 1990 menjadi Ketua Medium Sastra & Budaya Indonesia. Alamat Dukuh Sabrang, Kec. Pangkah Slawi Kab. Tegal: Mobile: HP.085224507144 – 087828983673. E-mail: nurochmansudibyoys@yahoo.co.id, sakti¬_artmng@ymail.com dan Website: www.guritdermayon.co.cc.,www.kembangsuket.blogspot.com, www.tropong.com

Penyair Tegal - Nurochman Sudibyo YS - Pemotret Itu Memulung Api

0 komentar

Nurochman Sudibyo YS
Pemotret Itu Memulung Api

Kutau engkaulah pengabadi cuaca dengan menu keliling. Sepanjang usia memutari kampung dengan warna cahaya. Mengisi kepala untuk segala informasi desa, serasa menyambangi setiap keranda. Sembari mencatat aroma lapar, sampai kembung perutmu. Mengambil gambar juga memulung api. Membawa rasa pulang dan sayang untuk beratus naskah drama orang-orang mati. Dengan sisa catatan yang kau curi, di bawah tempat tidurmu. Sungguh tikus pun gelisah seumur-umur. Menuliskan nama sendiri di atas api yang tak pernah kau cipta. Seraya mencaplok dunia lain. Kau pusing-pusingkan kepala, manakala piring beling di dapurmu saling silang bersaing diterbangkan.

Kutau kau bermimpi jadi Resi, duduk di beranda basah sejajar dengan kursi almarhum begawan. Sebangku dengan empu yang lebih dulu memecah batu-batu. Jika kau mati nanti namamu bisa sejajar dengan Rosihan Anwar. lalu kau tulis puisi dan diterbangkan ke dunia maya. Negeri impian barumu itu menyiarkan wajahmu lewat blogg, yutub, email, FB dan twitter. Semua orang menyanjung diri sendiri. Seperti dunia dalam permainan tak berperi, namun kadung terpatri. Seperti semangkuk soto yang enak menurut mulut dan perutmu.

Kutau sejatinya kamu masih malu, pergi jauh dari rumah, tak mungkin kau jalani selagi mudah mabuk darat. Tak banyak bicaralah engkau, menulis puisi atau cerita pendek saja bingung mencari judul. Diberi nama anak atau diri sendiri seperti menunjukan eksistensi tiada arti. Kau makin menjauh dengan keringat berpeluh. Duduk terpisah di tepian yang sangat jauh, namun matamu jalang, esemes pun berseliweran seakan semua orang mau kau kalahkan dengan isi pesanmu. Sungguh ejakulasi dini, asem urat dan spilis kelaminmu.

Kutau kau mulai belajar, menghilangkan jarak teramat jauh. Mau belajar lagi, anak-anak kian bertambah banyak, hidup terhimpit seluruh ruh. Terpaksa memilih jadi pemotret dan memulung api. Sisa kehidupan untuk keberuntungan. Mungkin saja nasib tak selalu bergantung. Masih ada teman yang bisa diajak berbagi untung. Meski yang kau makan itu sebenarnya cuma balung si buntung.

Kutau, masih ada yang takut dengan gayamu atau risih dan kasihan atas kelemahan yang dirancang abu-abu. Secepatnya ajak teman seolah-olah ditugaskan. Lumayan jika tiap kebohongan menghasilkan kesombongan. Energi apa lagi yang mendorongmu. Jagal saja orang lain. Sekarang jaman informasi narsisme, eufemisme dan negeri pura-pura. Anak kucing merasa telah jadi singa. Itulah kau, jangan diam dan tak lakukan apa-apa, selagi masih ada; maklum. Och bagaimana orang berbuat apa-apa? Kalau semua itu tak menyimpan apapun dan bahakan tak ada apa-apanya.

Kutau seberapa banyak kau timbun usia di daun-daun, selalu saja lupa tak bayak yang mau bertepuk tangan. Apalagi tersenyum untuk semua yang kau lakukan. Kameramu mengarah tidak dengan kesungguhan. Sekarang bangga dicaci maki para wali yang merasa resah dengan ulah terompahmu. Saat mata dipincingkan, Selalu kau punguti api, hingga rusak kahanan negeri ini. Mengubur esensi lokal di gelembung tanggal kelahiranmu.

2011

Biografi :
Nurochman Sudibyo YS. Pekerja seni dan budaya kelahiran Tegal (Jawa Tengah) 24 Januari 1963. Menulis Puisi, cerpen, Esai, catatan perjalanan dan geguritan. Dipublikasikan di berbagai media masa sejak tahun 90-an. Kumpulan Puisi Tunggalnya “Payung Langit” (1993), “Malam Gaduh” (1995), Soliloqui (1997) dan “Gerhana” (2000). Kumpulan Guritannya telah terbit di “44 Gurit” (2006), “Godong Garing Keterjang Angin” (2007), “Blarak Sengkleh” (2008), “Bahtera Nuh” (2009), “Pring Petuk Ngundang Sriti” (2010). Kumpulan Puisi Basa Cerbon bersama Ahmad Syubanuddin Alwy; “Susub Landep” (2008), “Nguntal negara” (2009) Dan “Gandrung Kapilayu (2010). Kumpulan Puisi Tegalan “Ngranggeh Katuranggan”(2009). Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi bersama “Kembang Pitung Werna” (1992), “Kiser Pesisiran” (1994), Antologi Penyair Indonesia “Dari Negeri Poci” Th 1996, antologi puisi dan cerpen Indonesia moderen “GERBONG” Yogyakarta (Th.2000), “Antologi Penyair Indonesia HUT Jakarta” (1999), Antologi “Lahir Dari Masa Depan” Tasikmalaya (2001). Antologi “Dari Negeri Minyak” (Th.2001), Antologi “Sastrawan Mitra Praja Utama” (2008). Antologi “Pangikat Serat Kawindra” (2010), dan Antologi “Perempuan Dengan Belati di Betisnya” Taman Budaya Jawa Tengah (2010). Sebagai sastrawan tinggal dan menetap di Slawi Kabupaten Tegal. Berkali tampil membacakan puisi dan menjadi juri puisi di berbagai kota. Sejak awal tahun 2010 bersama Dyah Setyawati mementaskan lakon puisi secara berkeliling, dengan memadukan unsur tradisi guritan, tembang, suluk, wayangan dan tari, bertajuk “Pangikat Serat Kawindra”, “Kupu Mabur Golet Entung”, “Kembang Suket”, dan “Nagari Corong Renteng”. Penyair dan dalang tutur ini sejak tahun 1990 menjadi Ketua Medium Sastra & Budaya Indonesia. Alamat Dukuh Sabrang, Kec. Pangkah Slawi Kab. Tegal: Mobile: HP.085224507144 – 087828983673. E-mail: nurochmansudibyoys@yahoo.co.id, sakti_artmng@ymail.com dan Website: www.guritdermayon.co.cc., www.kembangsuket.blogspot.com, www.tropong.com

Puisi Bencana Untuk Indonesia - Dyah Setyawati

Rabu, 20 April 2011 0 komentar

Dyah SetyawatiBIOGRAFI Diah Setyowati biasa dikenal Dyah Setyawati

Diah Setyowati, Lahir di Tegal (Jateng), 17 Desember 1960. Berpuluh tahun menggeluti penulisan puisi, membaca puisi di berbagai acara, menjadi juri puisi dan menulis puisi dalam bahasa ibu “Tegal-an”. Sesekali ia juga tekun melukis bunga dan wanita, meski karyanya telah banyak dikoleksi orang, dengan rendah hati ia tak mau disebut pelukis.
Antologi Puisi tunggalnya : “Nyanyian Rindu Anak Pantai” (1979),” dan “Tembang Jiwangga”(1999). “Pasar Puisi” Kumpulan Puisi Penyair Jawa Tengah (TBJT 1998), Selain itu karya-karyanya terhimpun dalam kumpulan puisi 32 Penyair Jawa Tengah: “Jentera Terkasa” (TBS). “Inilah saatnya” (2008), Antologi Pendhapa 7 TBJT “Persetubuhan kata-kata” (2009),Antologi Puisi Tegalan “Ngranggeh Katuranggan” (2009), Antologi Kakawin “Pangikat Serat Kawindra” (2010), Antologi Pendhapa 10 “Perempuan dengan Belati di Betisnya” (2010) dan beberapa kumpulan puisi penyair Jawa Tengah lainnya.
Selain sebagai pengurus Dewan Kesenian Kab.Tegal (komite Sastra & Teater), Kepala suku Komunitas Asah Manah ini sejak awal 2010 bersama Penyair dan dalang tutur Nurochman Sudibyo YS berkeliling mementaskan lakon puisi dan geguritan bertajuk “Kembang Suket”, “Serat Kawindra”.”Kupu Mabur Golet Entung” dan “Negeri Corong Renteng” Bersama orang yang dicintainya tinggal di Gang Sadewo, no 22. Dukuh Sabrang Rt.02/Rw.04 Kelurahan Pangkah, Kecamatan Pangkah, SLAWI Kabupaten Tegal. Phond Mobile: 085642545777. Rekening : a/n Diah Setyowati, BANK MANDIRI KCP TEGAL SUDIRMAN 13901. No. 139-00-1063776-1


Dyah Setyawati

Lelaki Pemahat Kata

Sepanjang usia ia pahat kata menjadi kalimat bermakna
meraup aksara; memainkannya
lewat malam yang belum tentu bulan
pagi belum tentu mentari
tak segan makan duka pelacur
merasakan ikut mumur ajur
kerontang jiwa di dahaga
ia teriakan jua sembari tetap memaknai cinta

Wahai pemahat kata
aku masih terus bergelantungan di ketiak nyawamu
yang separuh menafasi ruh
sampai tuntas kembara
Ooo
tetes tetes embun itulah cintaku, melayarkan perpisahan kita
ke muara sungai bumi manusia
seperti linangan airmata
saat membaca kesakitan demi kesakitan
tapi engkau tetap setia berjaga
diantara pal-pal kereta menuju stasiun waktu
hitam gelombang yang memekikkan jerit peluit
di ujung penantian itu seperti memainkan partitur senja
ketika jemarimu merangkum berkuplet-kuplet puisi
yang meneriakkan abjad dan angka-angka

Tetes-tetes embun itu kekasih, menggoreskan serpihan jelaga
ke pelupuk mata kita
tapi engkau tak mengerti juga
karena percintaan ini hanya tubir angin
betapapun begitu ingin
kita selalu mempertanyakan kesetiaan Tuhan dengan wajah dingin
maka dalam doa; beri aku langit kirmizi
secangkir kopi dan gurauan lelaki
beri aku musik paling sunyi
bergelas-gelas inspirasi
dan maut tak henti-henti
beri aku dirimu tubuh yang sembunyi
gigil gerimis dan bayangmu berkelebat pergi.

2011





Dyah Setyawati

Aku Terus Bermimpi Tentang Negeri Ini

Katanya negeriku gemah ripah loh jinawi
kenapa, penghuninya kurang manusiawi
apalagi jika menyangkut soal rejeki
ah sungguh keji ! gitzu loh !
korupsi bagai bunga kuncup mekar susah layunya

Mimpiku tentang negeri ini adalah negeri cahaya
yang menerangi segala kebebalan dan kegagalan
dalam menyelesaikan tetek bengek persoalan
dari isi perut ; rekening listrik ; sekolah anak-anak
hingga biaya berobat yang bikin tobat

Dunia politik penuh intrik
janji-janji palsu di mimbar-mimbar yang memabukkan
tentang keadilan dan kesejahteraan
tapi kenapa orang-orang banyak lari keluar negeri
jadi babu di negeri sebrang
yang bisa diperlakukan sembarang
sebagai pelacur dan budak-budak
yang tenaganya diperas seperti sapi perah
tidakkah kalian marah, sedikit peduli
tapi toh terjadi berulang kali
sesungguhnya sangatlah sederhana keinginan orang-orang kecil
yang sering diangkut kedalam arus besar
perbaikan nasib, sementara mereka cukup ngemut driji
entah sampai kapan segala keinginan berbiji

Jambrut khatulistiwa semakin semrawut
bersiaplah untuk ngelus dada bersama bagi persada
kejahatan, kekerasan ada di mana-mana
mereka cenderung anarkis, bengis n sadis
maka terpaksa kitapun latah menyumpah : bangsat !
aku terus bermimpi tentang negeri ini jadi cahayanya bangsa
cahayanya nurani, agar tahu diri tak lepas kendali
ramah penduduknya, manis pekertinya
sebab akan kutitipkan anak cucuku, disetebah bumi ini
aku terus bermimpi
dan bermimpi tentang negeri ini
bukan Cuma negeri khayalan.

2009





Dyah Setyawati

Kedasih Berkabar
(bagi : Uda ‘T’)

Malam belum juga sempurna
ketika kedasih terus menyuara
sampaikan kabar atau pertanda
entah darimana, kedasih menyobek sepi
bawa tekateki illahi
berita ditelevisi masih terbayang mata
gempa padang 30 september 2009,
jalan niaga salah satunya
tempat lelaki lewat,yang pandai merawat
sunyi tempurung hati, kedapatan mati;
sebelum sempat nyalakan pelita bagi adinda
kubayangkan pergimu berperahu Nuh
dengan penumpang berpuluh tinggalkan luh
bukan terlempar bersama ruang dari lantai empat
kejalan raya kematian itu. adalah kebahagiaan
bagi syuhada yang ingin selekasnya
menemui kekasihNya
maka janganlah menangis untuk mereka
tapi menangislah buat kita
yang belum siap menerimanya
oiii…..inikah kedasih siburung kematian
berkabar tentangmu yang dengan kesahajaannya
mengumpulkan tiap ‘piti’ bagi matahari
mengemas hari lrbih mengarti
lelaki lewat bukan cuma sahabat atau kerabat
tak ada lagi kini teman bercakap
sedang hadirmu cuma sekejap
jailah sejarah bagi ranah singgah
dalam kelu kalbu yang menjadi
ya Robbi; ditengah galau carutmarutnya rasa
engkau yang membawaku ada
untuk kemudian hampa
sembari merangkak dibelantara rahasia
aku coba cerna; menggapai gapai titah dawuhMu
entah rencana apa dibalik semua
bersama nyanyian subuh yang jelita
terimalah senandung mawar buatmu
kucatat dilekat jiwa
adamu tiada sia. selamat jalan sahabat……

2009



Dyah Setyawati
Saat Maut Menjemput

Bulan jatuh di atas keranda
ziarah siapa aku lancongi dipagi sepi
atau jazadku sendiri. terbaring rapi diesok nanti

Menunggumu, dipinggir kebun tebu rumahku
belakang pabrik gula
yang tak pernah kurasa manisnya
pada halte penantian. Degup jantung tak beraturan

Biarkan aku mandi taubatMu sebentar
agar senyumku mawar, saat kau menimang

Jadikan aku pengantinmu yang sempurna
tanpa luka ; tanpa cela. kupanggil – panggil
cahaya disisa usia. kangenku pada Nur Muhammad
dalam igau atau jaga, pada hening yang paling
jiwa mengasap melawat jauh
pasrahkan penuh. ruhku melabuh

Wahai maut yang bakal menjemput
ingin aku menyambutmu, tanpa takut

Beri aku kesempatan menata hati
mendidik masa kini dan esok nanti
lebih arif lagi. agar tangga surgaMu mampu kunaiki

Aku rindu sungai yang mengalir susu
rindu salam lembut nabiku
menyapa tidur panjangku

2009















Dyah Setyawati

Hujan Belum Reda

Hujan belum juga reda
dari balik kaca jendela
masih kuhapal detak wajahmu
seperti sebuah batu
telanjang menungguimu
menampakkan diri kembali

Tuhan telah mengkafani segenap kesakitan
meniupkan nafas baru bagi kemumianku
lewat kalimat tasbih yang cahayaNya
menyatukan pecahan jantungku

Hujan belum juga reda;
pada perjumpaan suatu ketika nanti
barangkali kita saling gugup mengecup
bahkan ngungun diantara nyala birahi dan asap dendam
bukankah kita sama – sama menyisakan ingatan

Hujan belum juga reda;
dari balik kaca jendela
air mata tungguku;
kuharap tak sia – sia
menyertai kebangkitanmu
menjemput puisi hati
menjadi lebih berarti.

2009






















Dyah Setyawati

Indonesia, kusebut namamu tanpa ragu

Lantang kusebut namamu tanpa ragu
semenjak mengenal air susu ibu
hingga fasih mengeja dan melafazkannya
sebagai tanah airku
bersama langit biru
laut rindu
rimba waktu
nyaman dalam dekapmu

Indonesia : kusebut namamu tanpa malu
meski kuyu wajahmu
mencerminkan letih onani anak negri
tentang korupsi
hukum yang diplesetkan
menjadi tontonan abad ini
lalu lugas lidahku menyeru
sebelum kelu
siiiikaaat…………
jangan kau loyo
lantaran ulah sontoloyo
tetap perkasa menjadi Indonesiaku
tanah air, zamrud katulistiwa
penuh cinta aku memikirmu
bagaimana cara mendendangkan
pada anak cucu :
agar mereka lebih baik dari moyangnya
menjaga citra bangsa : serta mengharumkannya

Indonesia
dalam sunyi sujudku
kubidikan panah pinta
pada yang maha luput dari gilasan masa
akan ketentraman bangsa
cinta dan banggaku padamu
Indonesia.


2009



Dyah Setyawati

Yang Sakit Yang Sekarat
Bumiku bumi sakit
Tak
Lagi legit
Sudah dicubit
Belumlah bangkit
Bumiku
Bumi sekarat
Terlalu penat
Nyangga
Dosane umat
Yang
Makin
Memberat
Inikah gelagat.
2009

 
Gurit Dermayon © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum