Sexs Dalam Kacamata Wong Pantura

Senin, 23 Maret 2009

Sexs Dalam Kacamata Wong Pantura
Oleh : Nurochman Sudibyo YS.

Kang kula ngarti sampeyan wis due rabi
Tapi kepriben, kula ora bisa klalen
Kang sing percaya ning sampeyan kulakuh cinta
Seminggu sepisan tulung kula tilikkana…………..*

“Kak aku mengerti anda telah memiliki istri
namun bagaimana, aku tak bisa melupakan
Kak percayalah, kepadamu aku tuh cinta
Seminggu sekali tolong aku ditengok.....”
Keberanian telah menjadi modal besar hampir di setiap diri pribadi-pribadi masyarakat Pantura, khususnya Cirebon dan Indramayu. Bagi mereka, menghadapi persoalan hidup, bukan lah sesuatu yang menakutkan. Semakin besar tantangan yang dihadapi, akan semakin bersemangat pula spiritualnya. Keyakinan ini berikutnya jadi mitos bahkan diakui sebagai kekuatan religius, yang berkembang mengikuti zaman.
Sebagaimana lagu “Tetep Demen” yang baru saja ditembangkan dan telah mereprentasi lagu-lagu dangdut tarling di Pantura dari kurun waktu era 95-an hingga kini. Sikap tegas yang di kenal tosblong atau blakasuta ini telah menjiwa masyarakat Cirebon–Indramayu, bahkan mengimbas ke daerah dan kota-kota di sekitarnya. Saat lagu ini hit tak ada satu kelompok pun yang menolak atau memberikan kritik terhadap nilai-nilai yang mendeskreditkan kaum wanita. Seolah di Pantura masayarakatnya lebih memaknai sebagai pemberontakan atau semacam revolusi yang dikumandangkan lewat syair lagu ini.
Untuk selanjutnya secara beruntun lahir lagu-lagu dengan judul yang cukup menghebohkan seperti; Bapuk, Pengen Sing Gede, Enak ning Duwur, Asal sing Kuat, Pengen Kesanding dan lainnya yang mereprentasikan seks dalam kemasan lagu dangdut tarling. Berikutnya muncul lagu-lagu yang lebih berani dan menantang seperti; Tek tunggu Rangdane, Kapan Dudane, Mabok Bae, Istri Simpenan, Gadis Pelayan Café, Mabok Rangda, Yu Pada Sawer, Isep-isep tebu, Berandal Tua, Gulang-guling, Bokong Gatel, sampai ke era Kucing Garong. Bukankah ini dapat menunjukkan bukti bahwa masayarakat Pantura, khususnya kaum wanitanya adalah sosok yang ‘nerima’ bahkan ‘mendukung’ kaum lelaki di lingkungannya merendahkan ‘kaum’-nya sendiri.
Selebihnya lagu-lagu yang tumbuh dan berkembang seperti pepes jamur ini kalaupun ada yang lain tak lebih dari jeritan hati wanita yang diciptakan oleh kaum laki-lakinya sendiri, entah itu perasaan cinta, putus asa, ditinggal kekasih, yang kadang dilukiskan lewat suatu tempat sebagai penanda seperti; Tlaga Remis, Prapatan Celeng, Tirtamaya, Pesisir Balongan, Toang Tambi, Toang Pindangan, Jembatan Bangkir, Pesisir Eretan, Waduk Bojongsari, Pertelon Widasari, hingga ke Bendungan Karet dan Bandara Sukarno Hatta.
Ungkapan “berani” kaum wanita di Pantura pun tak hanya pada sekitar lagu yang mewarnai sebagian kecil kebudayaan negeri ini. Mereka dengan jiwa besar yang dimiliki, memberi pengaruh bahasa yang tidak diakui oleh sebahagian besar masyarakat suku Jawa bahkan Sunda yang berada dekat dengan kultur ini. Belum lagi soal adat istiadat Pantura yang kental dengan kekerasan pantai, menempatkan mereka sebagai masyarakat petualang yang tak hanya berani di Nusantara namun juga diberbagai pelosok penjuru dunia.
Sikap “suka nerima” (blenakan) ini sudah barangtentu berdampak pada pada diri pribadi wong Pantura. Mereka tak hanya disegani dalam persoalan pola hidup, tetapi juga sexs. Sampai-sampai lahir pemeo yang mengatakan belum sempurna laki-laki jika belum merasakan ‘ketan irenge’ wong Dermayu. Sejarah pun mencatat Kramtung, Pejompongan, Doli, Saritem, Cibitung, Peleman, Sarkem, Lampung, Telanai, Pucuk, Palembang, Batam dan kini Mangga Besar dan Pulau Seribu. Mereka bahkan telah jade merk dagang di Malaysia, Singapura, Thaylan, Filipina, Korea, Jepang, dan juga di Inggris, Amerika, Prancis dan yang terbesar di Australia dan Negeri jazirah Arab. Meski begitu Orang Cirebon, Kuningan, Majalengka, Sukabumi, bahkan Semarang, Brebes, Purwokerto dan Tegal lebih suka mengaku wong Dermayu atau Indramayu ketimbang nama kota kelahirannya yang asli, konon Nama Dermayu justru “Nambahi Merek” (meningkatkan nilai jual).
Banyak orang kemudian kecele melehat realita Wong Wadon Dermayu. Mereka mengira jika di negeri yang jauh saja dikenal tandang (berani) maka di Indramayu “minangka pusate”, mereka kira bisa dengan mudah menikmati “geblog, blengep atau ambon” pilihan sebagaimana mereka rasakan di luar daerah, yang mengaku pedagang “Jaburan” Dermayu. Pokoknya Nama Indramayu kadung dapat nggak enaknya saja. Tapi ya itu dalam Kejelekan yang dikenal ada yang lebih besar tertanam di situ. Sikap Berani dan mandiri wong Indramayu menunjukkan kebesaran mereka yang tersembunyi.
Pergeseran nilai-nilai yang terjadi di Pantura terjadi juga lewat kesenian dan adat istiadat masyarakatnya. Ronggeng ketuk sebagai kesenian ritual yang jadi induk kesenian Tayub telah jadi Dombret dan arena sawer juga pesta seks bebas, namun sejak awal tahun 80-an kesenian Dombret ditolak oleh MUI mendapat tempat di sekitar Indramayu. Buntutnya mereka bertahan di Blanakan, Pamanukan, Subang, Purwakarta dan Krawang.
Lalu dimana tempat penjual Geblog, Blengep cotot, dan kuehku asli Dermayu di Indramayu? Banyak orang mengira semua itu bisa disisir mulai dari Krangkeng. Tapi mereka hanya menemukan wanita tukang jahit, di Karangampel mereka kehabisan tenaga ngorol ngalor ngidul dengan wanita pedagang kelapa, di Kedokan Bunder mereka sampai keder menyaksikan kaum wanitanya gemar sekali jajan baso Pa’e. Di Cangkingan mereka ngusrek sampai pagi Cuma bisa teler diantara gadis-gadis penari yang doyan racikan.
Di Bulak Jatibarang siapapun hanya bisa melihat anak-anak monyet yang bergelantungan di pekuburan. Di Widasari dan Celeng Lohbener mereka langsung ngiler dan keblinger pasalnya tak kuat digoyang oleh penyanyi karaoke jalanan yang seksi. Di losarang mereka malah disambut Mang Takmad yang kini telah berubah jadi Ketua Padepokan Wong Dayak. Di gabus anak-gadis yang bagus-bagus terlihat di waktu sore Tas adus pada jalan-jalan ning pasar senggol, tapi nggak juga jualan ketan, atau blengep. Di Bongas mereka sempat beringas dikira sponsor perdagangan anak-anak atau trafiking.
Baru saat di legok, Bugel dan Sukra mereka kepergok tengah menyantap dengan rakus makanan ikan bakar iwak etong yang di masayarakat Indramayu sendiri ikan ini masuk kategori buangan atau afkiran. Bagaimana dengan komunitas yang ada di Rumah sexs CI (Cilegeng Indah), Ternyata mereka sisa-sisa bongkaran Kramat Tunggak asal Semarang yang ingin menghabiskan masa tuanya di pinggir hutan. Kalaupun berdampak, tak jauh dari lenggarangan, kirik kikik, kucing garong dan macan ompong yang kerap kali bertengger di situ. Lalu dimana mereka yang terkenal hebat di berbagai penjuru nusantara bahkan di wilayah dunia senyum dan kepasrahan itu?
Jawabnya ada pada saweran. Ya sawerlah dulu, di warung, di rumah makan, di café, di hotel melati, di hotel bintang, sampai ke panggung hiburan tarling, sandiwara, wayang kult, dan organ tunggal; sawer dan sawer, bli lanang ora wadon sudah jadi budaya masyarakat yang melekat dan terikat. Sikap konsumerisme, egoisme, dan percaya diri yang kuat menempatkan mereka sebagai pemilk nama-nama modern di luar kota, namun saat kembali sulit untuk dilacak karena mereka telah berubah kembali ke nama aslinya. Sekedar contoh saat di Mabes (Mangga Besar) Imel, di Kampungnya justru lahir dengan nama Casingkem atau Ingkem. Di Tanah Abang Dikenal Bang Brony (tukang Pukul /Bodygard) di kampungnya justru bernama Casman.
Komunikasi timbal-balik antara masyarakat desa yang merantau ke Jakarta atau ke kota lain di Indonesia, pun juga yang datang dan pergi dengan alasan bekerja ke Saudi Arabia maupun negara lain seperti Korea, Taiwan, dan Jepang, telah memberikan alternatif dan impian akan pencerahan kehidupan mereka. Di kecamatan Juntinyuat sejak tahun 80-an bekerja ke Negeri Arab –dalam istilah mereka Araban, menjadi trend. Keberhasilan mereka yang menonjol di era 90-an dengan melakukan pembangunan fisik dan berhasil memiliki beberapa bau sawah, telah membuat iri kalangan menengah atas setempat. Tidaklah heran jika anak-anak orang kaya di Juntikebon dan Juntikedokanpun ikut-ikutan bekerja ke Saudi Arabia.
Ramainya warga Pantura yang memilih bekerja ke Arab di era 90-an hingga paruh akhir tahun 2000 an, selain telah melakukan perombakan strata ekonomi masyarakat, juga telah membangun budaya baru bagi mereka yang berhasil membawa ribuan real dan pengalaan pribadinya ke ajang pergaulan bebas di kampungnya. Pertukaran informasi bahwa di negeri yang konon masyarakatnya religius malah lebih Western dari Amerika menjadikan mereka menukar pengalaman tersebut pada teman, pacar, bahkan suami-suami yang ditinggalkan selama 2 tahun dan kini telah memiliki istri baru.
Era kawin dengan duda araban (lelaki yang ditinggal istri ke Arab) juga jadi trend di Pantura. Namun itu tentu saja bagi yang memiliki prisnsip Tuku Wedus Sekandange. Bagaimana pula dengan yang suka “jajan” ? Mereka lebih memilih membeli Sate Wedus di pinggir jalan atau ke pelosok kampung yang lebih dekat dengan kandangnya. Tidaklah heran jika semakin hari bertabah tahun, jumlah laki-laki yang ditinggal Istri ke luar negeri atau bekerja di Jakarta kebutuhan biologisnya disalurkan lewat gadis pelayan café, atau warung-warung makan yang menyajikan prostitusi instan. Hal ini di Wilayah Pantura; Semarang, Pekalongan, Tegal, Brebes, Losari, Cirebon, Kuningan, Indramayu, Majalengka, Subang, Purwakarta, Krawang dan Bekasi, dalam peta perjalanan saya tercatat 12 modus operandi kegiatan prostitusi.
Selain yang memang stan by di rumah-rumah hiburan berkedok café, maupun yang meang terang-terangan sebagai rumah bordil kecil-kecilan, Ada juga yang menggunakan sarana warung makan, rumah makan, pedagang es kelapa muda, pedagang mie goreng, pedagang sate biyawak, di wartel, di alun-alun, di pasar kaget, di bioskop, di mool, di swalayan, di mini market dan di tempat-tempat sepi seperti bendungan, jembatan, pertigaan, perempatan disitulah transaksi dilakukan sembari pura-pura hendak bekerja atau bepergian. Cara-cara seperti ini menurut pengakuan mereka lebih aman dan berwibawa ketimbang mangkal di rumah bordil. Selain nilainya lebih tinggi, martabat mereka sebagai manusia biasa pun terjaga.
Lalu siapa yang dapat membuktikan adanya prostitusi di Pantura. Jika dulu dilakukan di rumah-rumah sewa, di sekitar penduduk pedesaan, kini untuk kebutuhan kamar dengan fasilitas pesawat tv dan AC di beberapa tempat di Pantura mudah dijamah dengan net 35- 250 ribu. Soal tempat yang aman tentu saja tidak memilih melati. Tapi sort time di melati memang cukup banyak diminati. Sayangnya data di Penginapan melati dan hotel kelas 1 dan 2 tak bisamemberikan data konkret soal ini. Mereka nampaknya tak ingin usahanya gulung tikar. Bahkan untuk beberapa hotel di Pantura, memiliki karyawan yang khusus memberikan layanan pemesanan “ayam kampung” dan “ayam negeri”, bagi yang membutuhkan, “santap siang” atau “makan malam” ala koboy.
Di tahun 2000-an tengah terdengar isue bahwa di Jalur Pantura tercatat data 20 % wanita penghiburnya pengidap HIV dan angka itu cukup mencemaskan bagi dunia kesehatan dan kehidupan di Pantura. Namun ya itu, karena belum terdapat ekspos terbuka bagi yang menderita sampai yang meninggal, hingga isue tentag HIV tak lebih dari Isyue Guncangan Gempa Bumi yang dirasakan di daerah lain. Sementara di Indramayunya sendiri tak dirasakan. Entah karena masyarakatnya sedang asyik bergoyang “Dangdut Tarling” atau lagi keasyikan “bergoyang” usai terima “uang saweran”.
Kini kita pun kembali diguncang dahsyatnya “Goyang Dermayu”, dan itu dimainkan oleh anak-anak lulusan SMP dengan Pacarnya yang baru naik kelas 2 SMA.. Soal ini dampak dari tehnologi, atau karena fenomena “Goyang Tarling Dangdut” dan “Tua-nya zaman”, harus kita diskusikan. Yang pasti Sentra Guncangan Gempa dan Goyangan Bumi memang bisa dari mana saja termasuk yang tak terprediksikan para pakar. Jika di laut dangkal Indramayu Saja bisa terjadi gempa. Dan keniscayaan ini bakal terus bertumbuhan dari sebuah kota Ternama di Jalur Pantura.
Kita memang tidak bisa sembarang menafsir-nafsir soal goyang, gempa, dan dangdut tarling. Tapi realita di jalur Pantura kerap kali terjadi “Goyang Spektakuler” baik dari kacamata Ekonomi, politik , Sosial dan Budaya. Bukankah ini merupakan produk pemikiran dan gudang gagasan. Tentu saja bagi siapa saja yang tidak terlibat langsung dengan bujuk rayu kemenawanan di sekitar kita. Bukankah konyol jika kita harus menulisi diri kita sendiri dengan kebohongan atau keterusterangan yang tak pernah memberikan solusi apa-apa.
Yang sangat mencemaskan upaya pemerintah dalam menanggulangi kebodohan, ketertinggalan dan keterpurukan justru begitu gencar. Namun demikian angka kenaikannya tidaklah sekondusif realita di lapangan. Begitu juga upaya mereligiuskan masyarakat dengan stiker, pamflet, baju, bilboard, asesoris jalan dan slogan-logan juga himbauan berdoa sebelum maaf “Ngemprut” pun dilakukan. Tapi realitanya semua berjalan dan sejalan.
Mestinya banyak cara lain yang lebih murah meriah dan tidak hanya kulit, tetapi langsung jadi daging. Misalnya dengan membangun pabrik-pabrik pengolahan ikan, pabrik batik, pabrik plastik dan tenunan yang sekiranya menyerap tenaga kerja dan tak memberi waktu semenit pun nganggur dan berhayal bagi anggota masyarakatnya. Maka kelak yang terjadi adalah pembangunan kesadaran bersama, kedisiplinan yang tertata, anggah-ungguh dan perilaku yang berbudi pada sesama dan yang setingkat lebih tua, Serta menanamkan sikap mandiri pada generasi berikutnya untuk memberikan sesuatu yang bernilai untuk daerah dan negerinya, bukan untuk daerah lain atau negeri impiannya.
Wilayah Pantura nan Cantik dan penuh kemenawanan. Kelak akan semakin bergoyang dalam menerima pelebaran program pembangunan fisik dan industri, ke wilayah Pesisir Utara Jawa. Namun “goyangan” masyarakatnya itu bukan “goyang syahwat” menikmati irama dangdut “Klepon Cirebon, Geblog Dermayu, Atau Apem Semarang. Kita ingin pembangunan ke depan disyukuri dengan goyangan pribadi-pribadi yang berzikir karna rindu Allah, Karna berharap Ridho dari Allah. Amien…Amien… ya Robbal Alamin. ***
Nurochman Sudibyo YS.
Pendidik, Aktivis, Penyair Kiseran dan Pemerhati budaya.

1 komentar:

Posting Komentar

 
Gurit Dermayon © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum