NOVEL Febrie Hastiyanto : Laki-Laki Pada Sebuah Hujan Fragmen I

Minggu, 19 Juni 2011

Laki-Laki Pada Sebuah Hujan
Novel Febrie Hastiyanto

Teruntuk Dee dan
Kepada R di Yosodipuro 81


Catatan dari Laki-Laki Kehujanan

Fakta:

Sejumlah organisasi mahasiswa seperti Ikatan Mahasiswa Solo (IMS), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Komite Pemuda dan Mahasiswa Surakarta (KPMS), Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR), dan Kelompok Studi Mangkubumen (KSM) adalah nyata.

Sejumlah tempat seperti Asrama Mahasiswa Ngoresan, Sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa Kalpadruma Fakultas Sastra UNS, Warung Pak Warno Ngoresan, Warung Mbah Rip Monumen Pers dan Boulevard UNS memang menjadi saksi bisu mimpi-mimpi aktivis Gerakan Mahasiswa Solo 98.

Sejumlah taktik seperti rumah aman (save house), sentra informasi dan grafitti action digunakan aktivis Gerakan Mahasiswa Solo 98 dalam perjuangannya menurunkan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Tidak kurang 10.000 mahasiswa berdemonstrasi di Boulevard UNS tanggal 8 Mei 1998. Merupakan salah satu demonstrasi permulaan menjelang kejatuhan Presiden Soeharto yang melibatkan massa dalam jumlah besar dan berakhir bentrok. 400 demonstran tersungkur cedera, 122 orang diantaranya dilarikan ke UGD RS dr. Moewardi dan 12 orang harus dirawat inap. Dari pihak aparat tercatat 31 petugas cedera dan 3 petugas dilarikan ke RST Slamet Riyadi. Sebagian cerita dalam novel ini merupakan terjemah fiksi atas peristiwa tersebut.

Nama tokoh, karakter, dan cerita dalam novel ini adalah fiksi.

FRAGMEN I
I
DEMI hujan renyai di sore ini, seorang laki-laki tampak duduk termenung di balik kaca jendela kamar kontrakannya. Tidak seperti orang yang termenung kemudian melamun, laki-laki itu justru bergairah. Bulir-bulir hujan yang menetes di kaca diamatinya dengan seksama. Hati-hati ia mengela nafas, satu-satu. Seolah momentum itu tidak ingin dilewatinya barang sekejap tanpa ia nikmati. Ingat pada latihan-latihan yoga yang telah beberapa bulan diikutinya, lelaki itu duduk lebih tegak. Posisi rangka tubuh sempurna. Tapi laki-laki itu tidak duduk dalam sikap siddhasana, posisi sempurna untuk meditasi. Atau disebut juga the perfect pose yang konon dapat meningkatkan sirkulasi darah di punggung dan panggul juga membantu memperlancar pergerakan persendian lutut dan mata kaki. Tidak, ia tidak ingin memulai meditasi. Ia ingin duduk santai saja menikmati detik-detik paling menggairahkan yang ditemuinya sepanjang hari ini.
Karena hujan, dia berpikir rasanya tak seorang pun yang tidak menyukai hujan. Kitab suci yang diyakininya sebagai kebenaran-normatif dan karenanya tidak harus dibantah menyebut hujan sebagai rejeki. Semenjak kecil ia demikian akrab dengan hujan, semenjak menetes satu persatu, mengepulkan debu yang lama-lama basah. Wangi itu, wangi debu yang membuatnya demikian nyaman, seperti buaian ibuk di beranda samping rumah dulu ketika ia masih kecil. Bau tanah yang kemudian berganti tenteram karena dingin cuaca membuat tubuhnya menggigil. Namun ia merenggangkan otot-otot di punggungnya. Justru semakin ingin menikmati gigil yang dirasakannya berbeda dengan dingin malam hari.
Laki-laki itu berharap hujan turun deras sehingga ia bisa bermain-main dengan pikirannya dalam aliran hujan yang membentuk anak-anak sungai di halaman. Aliran air hujan di halaman baginya adalah lembar putih untuk mengkhayalkan semua impiannya. Merenungi semua yang telah dilakukannya. Menjadi bara bagi cita-citanya yang seringkali tertunda hanya karena ia makhluk yang tidak otonom atas kemauannya sendiri. Lama laki-laki itu menatap teduh aliran hujan yang berebut membanjiri halaman menuju selokan. Pastilah di ujung jalan sana air itu tumpah karena selokan tak lagi cukup menampung, ia membatin. Bukan karena selokan sempit melainkan oleh sebab dangkal. Baginya air hujan yang meluber, berwarna coklat keruh oleh lumpur tidak eksotik lagi.
Ah, buat apa merusak kenikmatan yang hanya berbilang jam ini. Dengan berpikir hal-hal buruk dari hujan. Baginya hujan mampu membawanya menikmati semua yang diperolehnya dengan keras kepala selama ini. Baginya hujan telah menjadi teman, karena ia seorang yang seringkali diliputi kesepian.

II
SETELAH memeriksa hasil tes wawancara penerimaan karyawan baru untuk presentasi besok di depan manajemen, Satryo merapikan meja kerjanya kemudian mematikan laptop. Masih sempat meneguk satu hirupan terakhir teh manis di mejanya. Hari sudah benar-benar gelap. Lampu-lampu sudah berpendar. Karena malam ini cerah, cuaca terasa segar. Satryo sudah mulai lapar. Pukul 20.00 kurang sedikit. Memang cukup telat untuk makan malam bagi kebiasaan perut orang Indonesia. Tetapi malam ini ia sudah janji dengan beberapa kawan semasa mahasiswa dulu. Dengan Indah. Juga Aditia yang biasa disapa Bona karena tubuhnya yang gempal seperti kartun Bona (dan Rong-Rong di Majalah Bobo). Waluyo. Eh, ya. Katanya Anita bisa datang. Sudah lama tidak bertemu dia. Anita yang paling jauh bekerja setelah selepas sarjana. Di Surabaya, mengelola bisnis bersama suaminya.
Satryo berusaha mengingat, siapa lagi yang kira-kira akan datang malam ini. Bona, Waluyo, Indah. Ya, ya. Widi. Dia selalu ingat dengan Widi. Widi yang staminanya kuat sekali. Betah melek waktu dulu sering rapat hingga larut. Mungkin karena kala itu Widi mahasiswa arsitektur yang terbiasa begadang mengerjakan tugas kuliah hingga pagi.
Lesehan Bu Yasin di bilangan Kottabarat sudah terlihat agak jauh di depan. Berselang tiga warung lesehan dari traffic light. Jadi nanti bisa santai ngobrol tanpa terganggu polusi kendaraan yang stop sementara menunggu lampu merah menjadi hijau. Selagi memarkir Avanza yang cicilannya belum lunas Satryo sudah membalas lambaian Indah dari dalam warung tenda. Satryo tertawa renyah. Ah, Indah. Masih imut saja dia. Maksudnya perawakannya yang kecil langsing. Jadi bukan pendek. Dulu suka dijuluki Indah ‘BO’, ‘Bimbingan Orang Tua’. Klasifikasi tayangan televisi untuk anak-anak di bawah umur yang perlu didampingi orang tua. Tetapi jangan tanya soal kritisnya saat berdebat. Indah bisa menjadi sangat galak. Satryo tersenyum sendiri saat menerima kupon dari tukang parkir. Pastilah Indah sekarang lebih galak. Soalnya di Semarang dia tercatat sebagai dosen Universitas Diponegoro. Jurusan Ekonomi Pembangunan. Dan aktif di Pusat Studi Wanita. Klop. Soalnya dulu ia sering mengeluhkan soal diskriminasi gender. Juga brengseknya laki-laki.
“Apa kabar rakyat?” goda Satryo renyah. Menyalami satu-satu kawan yang sudah datang: Indah, Bona, dan Widi yang telah lebih dulu tiba. Belum sempat mengucap apa-apa, Satryo sudah tersenyum sendiri. Ah, rasanya banyak yang ingin ditanyakannya kepada kawan-kawan lama ini, satu per satu. Pastilah terlalu banyak cerita mereka.
“Rakyat semakin gila,” cetus Widi. Riang dan tanpa beban. Dalam kamusnya tak ada persoalan yang tak dapat diatasi. Hmm. Masih seperti dulu.
“Lapar bos. Kamu sudah dipesankan kakap bakar. Dicelup ke bumbu dua kali, biar lebih meresap, seperti biasa kan? Sambil nunggu yang lain. Anita bilang nanti menyusul, sekarang masih di Hotel Diamond. Katanya biar anak-anaknya tidur dulu. Sigit suaminya yang akan menjaga anak-anak,” jawab Indah, juga masih sistematis seperti dulu. Senyumnya pun tak berubah. Perasaan Satryo semakin tak menentu. Gembira telah berbagi kabar dan bertemu kawan lama. Maklum saja, sudah hampir sembilan tahun tidak bertemu.
“Es lemon tea kampul juga sudah dipesankan bos. Dua gelas,” Indah lagi. Sambil melirik menggoda. Satryo tersenyum bahagia. Ingat sahabatnya satu ini masih mengingat dengan baik seleranya. Juga es lemon tea kampul itu. Kampul maksudnya mengapung. Jadi jeruk yang habis diperas, dicemplungkan sekalian dalam gelas. Kampul-kampul dalam es lemon tea. Rasa dan aroma masuk semua ke dalam gelas. Dan dua gelas. Kalau yang ini khas Satryo. Paling doyan minum es lemon tea kampul sekaligus dua gelas.
Widi tampak cerah malam ini. Terlihat berbincang asyik dengan Indah. Pastilah nostalgia. Widi jadi arsitek di Biro Konsultan milik temannya Pak Prie dosen pembimbingnya dulu. Hanya Bona yang lebih banyak diam. Keterlaluan juga makhluk satu ini yang tidak bisa menahan lapar meskipun tubuhnya paling subur sejak dulu. Ah, Bona memang tidak bisa lepas dari sesuatu yang bernama nasi. Juga saat ditahan di tahanan Polresta empat belas tahun lewat. Satryo kembali tersenyum sendiri, namun tak lama.
Sesaat kemudian Satryo tercenung. Ingat cerita-cerita dulu. Waluyo belum ada bersama mereka saat ini. Akankah Waluyo datang malam ini? Satryo tidak berani bertanya kepada teman-teman yang lain bagaimana kabar Waluyo dan berada di mana ia malam ini. Satryo menghela nafasnya. Mungkin Waluyo masih mendendam padanya. Karena pilihannya dulu.

III
PESANAN ikan bakar belum juga diantar. Kesempatan ini digunakan Satryo untuk berbagi cerita dengan teman-teman. Satryo masih tersenyum sendiri. Sambil mengobrol ingatannya terbang pada kenangan-kenangan belasan tahun lewat. Ketika mereka sama-sama menjadi aktivis mahasiswa. Dengan mimpi-mimpi dan avonturisme anak muda.
Beberapa hari lalu Anita mengontak Satryo yang hingga kini masih berdomisili di Solo. Anita dan suaminya ada beberapa agenda mengembangkan sayap bisnisnya di Karanganyar, kota satelit sekira 20 kilometer di timur Solo. Satryo tahu, Anita pastilah ingin sekalian bertemu dengannya. Karena itu Satryo mengontak Bona, yang menjadi wartawan di Jogja. Bona tertarik.
Tak lupa Satryo mengontak Widi. Meskipun awalnya tak berharap banyak karena Widi bekerja di Jakarta, Widi menjanjikan akan hadir. Dan ditepatinya malam ini. Lalu Indah yang bekerja di Semarang. Meski mereka bersahabat lebih dekat dengan yang lain namun Satryo juga sudah lama tak bertemu Indah. Mereka semua telah berkeluarga kecuali Indah. Studi Doktornya sudah diselesaikan di Malaysia. Tapi entah mengapa Indah belum berminat menikah juga.
“Besok saya hanya mau menikah setelah kamu menikah,” kata Indah saat Satryo menemaninya mencari buku di pusat kulakan buku bekas tepat di belakang Stadion Sriwedari. Mereka sama-sama sedang mengerjakan skripsi kala itu sesaat setelah pemerintahan baru Indonesia terbentuk dari gerakan reformasi yang antara lain dipelopori mahasiswa. Satryo telah berencana segera lulus, mencari kerja, dan meminang Aliffa mahasiswi Teknik Industri yang telah hampir tiga tahun mengisi hari-harinya.
Satryo mengintip ekspresi Indah dari balikan tumpukan buku. Indah serius membolak-balik buku. Satryo kesulitan menebak makna pernyataan Indah ini. Ingin menanyakan langsung Satryo tak berani. Takut hal-hal buruk terjadi. Seperti pertemanan yang goyah.
Satryo hanya menghela nafasnya. Meski selama ini dekat, Satryo membatasi diri untuk tidak bercerita banyak soal-soal asmara. Baginya Indah sahabat yang paling menarik diajak berdiskusi. Anaknya cerdas. Sistematis. Cenderung tak banyak cingcong, dan irit canda. Mereka berdua teman satu angkatan, satu fakultas namun berbeda jurusan. Satryo ingin menjadi Akuntan, Indah mengambil Ekonomi Pembangunan. Meski sering bertemu, mereka baru intens berbicara setelah sama-sama mengikuti basic training, orientasi penerimaan anggota baru Perhimpunan Mahasiswa Solo, yang disingkat PMS.
Awalnya Satryo tak ingin terlalu jauh menjadi aktivis mahasiswa apalagi menceburkan diri dalam gerakan-gerakan panas mahasiswa Solo menjelang kejatuhan Soeharto. Sejak semula Satryo ingin menjadi akuntan. Bekerja kantoran, memakai dasi dan memiliki pendapatan yang cukup untuk membina satu keluarga kecil. Apalagi akuntasi mata pelajaran yang paling ditunggu Satryo saat Sekolah Menengah Atas dulu. Saat guru menerangkan pelajaran, Satryo menyimaknya dengan teliti: kertas kerja sepuluh kolom, worksheet, atau mengerjakan soal-soal bercerita, debit dan kredit satu Usaha Dagang. Kali lain mengerjakan laporan keuangan Perusahaan Otobus. Belajar akuntansi membuat imaji Satryo membayang ke mana-mana. Menjadi direktur, berkelas, intelektual.
Semester-semester awal diisi Satryo dengan aktif berkuliah di samping terlibat dalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Satryo tahu Indah juga belum menjadi anggota Perhimpunan Mahasiswa Solo. Mulanya Satryo mendengar Indah aktif di Badan Penerbitan Mahasiswa atau Bapema yang menerbitkan Majalah Valuta. Sampai kemudian terjadi sejumlah peristiwa di kampus yang mengubah jalan hidup Satryo. Diantara masa-masa menegangkan sekaligus manis itu dilalui Satryo bersama sahabatnya: Indah.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Gurit Dermayon © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum