Antologi Puisi Gerhana, 2008

Senin, 23 Maret 2009

Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
Lagu Serunai Padi

Sulit mengerti betapa berat menahan airmata
yang meluncur dari bola matamu
meski telah kubentangkan jarak untuk tak terlampau jauh
rinduku terkapar begitu saja tanpa raga
milir udara laut menampar hamparan padi
lekuk gemulainya tontonkan kulitnya keemasan
malai padi pun kini bawa aroma gelisah cinta
harapan terpendam tumbuh dalam lumpur kesuburan
Sampai embun malam menggeriap seperti tirai
yang kasmaran. Disentuh ujung jemarimu
membatas jarak di perahu sujudku. Lalu airmata
ini pantaskah kususur dalam sembahyang panjangku
sedang gairah telah kurunut menuju sepi mihrabmu
bahkan bulu romaku tak terasa berdiri
di lautan tanpa canda

Inilah syair misteri itu. lantunan hidup yang tak terarah
singgasana sepi bersemayamkan lumut
dan noktah hijau. Sampai kesejukan mengurungku
dalam kamar ketidakpastian
gerimis telah menandai usai siaran di televisi
meninggalkan suarasuara yang memekak telinga
juga senyumanmu ikut berlari begitu datang rasa rindu
mengibarkan doadoa bagi kesabaranmu.

1993




Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

Lagu Purnama

Purnama yang memantul ke kaca jendela
adalah sajakku tentang malam
saat dua ekor merpati kawin, melepas cumbu
kejaran. mandi nur rembulan.

1993




















Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

DOA LANGIT

Dari langit yang tak mampu kujamah,
kupandangi tanah amsalku
sinarnya tercurah ke bumi, mengalir bersama doa
para pertapa. Diberangkatkan
penunggang kuda kelana
meninggalkan jejak sepatu, jadi fosil
sejarah dan peradaban.

1993



















Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

RACUN DAN BUSA

Air yang mengalir dalam labirin beku
kian menindihiku, ke dalam dinding plasenta
menggedorgedor jantung. membawa
langkah limbung menuju langitmu
mengajak bercengkrama tentang angin
dan bungabunga. kunikmati mandi
di lautan berbusa

Air yang kuteguk bukan racun
tapi darahku sendiri. kugerogoti
lapisan dagingku. membuat ku terkulai
lemas sebab terus menerus menari
tanpa sadar itu dupa dosadosa. sampai kini
belum kutemukan penawar racunmu
agar aku tak terus menerus
terongrong begini.

1993










Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

Sajak Diam, II

Berhentilah, meski tak ada orang yang tak mencuri
seperti setan melingkar. Selaput dunia mengkerutkan
sel-sel ozon hingga merajalela. Dicipta untuk kehancuran
dan kekuasaanmu mengincar darahmu sendiri
tulang-tulang yang keropos pun tumbang
kau kuasai ganasnya serum waktu
menggerogoti seluruh usia. Menjadi penyakit
yang bersarang di daun jendela, kursi
kesewenangwenangan jadi kuburmu. Hidup pun
untuk selanjutnya dimusnahkan.

1993
















Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

LANSKAP Ke Satu

Di tepian samudra kujemput siangmu
sembari kusapa keramaian pantura
lewat buih ombakmu. Sepi gelombang
memaksaku berkunjung

Seperti rambutmu digelung angin cemburu
sedang nafas cinta
teronggok di kayu yang rapuh

Aku seperti ketam yang ketakutan
berlari masuk dan keluar lubang
pasir basah mengantar suara dan desahmu

Di tepian lautmu
ikan-ikan kecil dan batu-batu karang
menarikan kesunyian
usai tengkarku dalam jeritan
dan derai cemara yang menunggu.

1992









Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

LANSKAP KE DUA

Sepi mencekam di peraduan malam
di bawah rimbun palem dan lampu merkuri
ada jarak antara perahu dan au yang kian terpaku

Jalanan pantura hilang dari keraian
kudibelenggu penjara lautmu
sedang angin dibiarkan terikat
di menara layar jukung membeku

Kucoba membunuh gelombang pasang
isetiap ombak menampar karang
kau sembunyikan bahasa luka
kakiku berkelana
kian jauh
mencari-cari bayang rembulan
di antara mimpi dan tidur
kusambangi titik dukaku
menerobos lautmu kelam.

1992









Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SKETSA PANTAI

Matahari redup ditikam usia
seperti kantuk daun putri malu
aku cemas menjamah sapuan selendangmu
pelangi
jiwa ini terbakar semasa hawa jahat
tumbuh subur dibumimu yang ranum

Udara malam adalah selimut sang urban
mencari-cari kesejukan di balik ketiak daun
sungaimu mengalirkan nikmat hidup
seperti laut yang menderu
gelombang keperkasaan menggeliat
menutup lubang tiram di pasir berbuih
inIilah kuorta batin ini
selaksa doa dgelar dipermadanimu
di Bening pantai, kuabadikan
tubuhmu dan kubiarkan telanjang
berlumur malam.

1993









Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SAJAK KELAHIRAN

Tuntas sudah kutanam nadiku
atas tanah dan sujudku
sajadah basah

Kubiarkan semua kecambah malam bertumbuhan
sahajudku membunuh resah. Menyapa
hadirmu. Membuka jalanan
menguak ranting berduri
seperti seorang nahkoda
di atas perahumu

Selalu tangan tengadahmenuju langit
menambatkan cinta putihku
bicara lewat airmata
merata di ujung jemarimu
kusegarkan nafas-nafas baru
sebari kupanggil namamu.

1991










Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

KEPADA KAWAN

Kulepas dengan seribu panah
mengarah tengah dadamu
ada bumerang yang terbang
terisi misteri cntamu

Selalu berulang dalam genggaman
busur –busur mengekang
keperkasaan yang meraja

Ini rimba dunia. Semua kekuatan meraja
alam dan sekitarnya membumi
hapuskan gairah dan semangatku
seperti sajak ku yang ingin bertandang
senyummu jatuh, di bawah pohon kina
kelopak bunga yang melayang di udara
mencari seorang kawan
teman bermainku di malam
dan gumintang yang berhamburan
kubungkus rindu dan puisi
bernyanyi di kesunyian.

1993







Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

PROSA KERINGAT

Sabun mandi dan shampoo menggelembung
tangismu alirkan duka ke kujurku
hampir selesai kudirikan
rumah boneka dan garasi mobil
mainanmu

Kutermangu dibelenggu nafasmu yang harum
dari uap sabun dan harum shampoo
menyusup ke ubunubunmu yang ranum

Ketahuilah wangi keringat ini menyimpan
selaksa zikir dan cengkeraman doa.

1994















Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

DIMANA DIAMMU

Di mana diammu, saat angin mengalirkan deru ombak
dan cuaca dalam bayangan lanskap siang
(aku cari secercah nur yang datang)

Di mana sepimu, saat hujan merintangi jalanjalanku
dan bumi punggungnya bilurbilur disambar petir
(aku menanti datangmu)

Di mana sayapmu, kala malam menenggelamkan mata kita dan dalam terpejam masih menanti mimpi bertemu rembulan
(aku melihat bayanganku sendiri tapi sangsi)

Di mana kelammu, sejak ayam jantan menyambut pagi hari menjelang kebangkitan rohroh jahat
dan pergi sebagai jin atau setan
(aku belum pulas tidurnya)

Di mana, di mana, di mana !
(tetap kuyakinkan untuk terus bertakbir di sini)

1994



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

ZIARAH MALAM
Berulang kali kuziarahi kesunyian
do’a ku taman laut dan batu karang
serangkum bunga rumput tergeletak
menandai istirah, perjalanan panjang

Kuikuti gelombang hingga pasang
jemariku buih tempat sembunyi ikanikan
menoreh seribu catatan di pantai
kubangun dari gairahmu
irama seruling dan denting melodi gitar
menjadi getar yang kasat
sedang malam cuma bingkai bagi pekuburan
potretmu, pusara rembulan.

1995










Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

LANSKAP SIANG

Surgaku adalah semua gelombang
yang belum berhasil kujumpai muaranya,
hingga hilang arusku, berpendaran tanpa bekas
di kedalaman ombakmu aku terhempas
mengusik wajah keruhku
menghamburkan sayat dan jeritan
ku jatuh di ketiak sungaimu

Inilah surgaku, tempat kehangatan datang
dan berulang pergi kembali sekehendak hati
dicari dan mencari ke mana usai
dan perginya
Arusku.

1995










Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

KEMBARA MALAM

Aku telan mimpi semalaman
pengembaraan belum juga terbenam
telah kusunting alam di atas dadaku. waktu pun
berkarat
penanggalan rontok. menanti datang
selaksa bintang

Di keranda malam ini, sunyi sampai sudah
menjadi sejarah warna warni
dan tak akan ada lagi yang mampu bicara
sebab lidahnya telah tumpul dipatuki zaman
entah sampai kapan.

1995












Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

PROSA AIRMATA
* Mengenang Masa Lalu “R”

Masih mampu kuurai waktu sambil
memandang ke cermin. Belajar menyingkap
bayangan dan perjalanan air mata
dalam hitungan almanak, tanggal satu-satu

Pada wilayah fantasimu, bayangan kutangkap
hingga jatuh ke mata, jadi rabun dan basah
pipimu diam, dilintasi kesadaran
datangnya cinta yang melegenda. Lewat
surat bersampul merah jambu

Sengaja kupilih berdiam di bingkai potretmu
meski kaca-kaca tak lagi mampu bicara
kupandangi semestamu, hingga rinduku mengalir
menjelma keheningan isyarat matamu.

1995











Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

JIWA MABUK

Jiwa mabuk, bangunlah
demi kesadaran. Tikar sukmaku
menyeimbangkan sedekapnya jemari
hingga luluh rontok belulang
ke puncak mihrabMu

Bangunlah dan buyarkan ingatan
tegakkan raga dengan pedang
sampai jiwa nempuruk
berlarilah. Pada jembatan ketulusan
harapkan cinta bagi jasad rusak
sampai petir mengawinkan cuaca
dengan suara dan pedangmu
yang bercahaya.

1995









Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SEBATANG ROKOK

Asap tembakau mengantarku ke negeri
penuh misteri. Mempekerjakan urat
syaraf. Hingga menekan kepala
menjaring seluruh persendian
dan jantung kita berdecak seperti pabrik
opini. Kita saling melempar sinyal lewat
nadi dan darah

Kita tulis puisi dengan mesin-mesin tua
sampai jemari lelah menarikan lagu
kepayang. Sedang asap tembakau
telah memabukkan siapa saja yang masih
semedi di dalam kesunyian asbak
kita pun terus berfantasi melukisi langit
dengan kotoran kita sendiri.

1995










urochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

TERMINAL AIRMATA

Telah kurilis lagu dari semak belukar
bermilmil menjelajah kekuatanmu, tapi
kita tak juga berhenti

Menyusuri sepi yang meranggas
di bawah lengan mawarmu. tepis curiga
menyeka harihari basah, diterminal
airmata, kita kecup jalan hidup.

1995















Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SOLITUDE TAHUN BARU

Belum habis tidur kusampirkan dalam mobil
semua penumpang larut jadi angin, hingga busuk
semua paru-paru dan darah membuncah
dari raut mukamu
tak ada sisa percakapan selain deru mesin
menenggak bensin. Malam nempuruk dikunyahi
dentang lonceng tahun baru, juga jerit terompet
dari orang-orang yang lalu lalang di jalan raya
tapi aku masih asyik menetap disini
mengerami mimpi dalam kendaraan yang tak
habis-habisnya
mengantarkan jenazah.

1995














Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

DUAPULUH EMPAT JAM
DALAM DEKAPAN

Dua puluh empat jam dalam dekapan, tanganmu
kemanusiaanku terbelah. korankoran tak mampu bicara
mulutnya terkunci, berbisik penuh rahasia

Lalu kau tangkapi wanita dalam arus gosipmu
mengajak lelakiku hamil tua. berteriakteriak sendiri
menanti kelahiran bayi peradaban. dengan sempurna
kau lempari gedunggedung dan memporakporandakan
semua kemapanan. dengan buldozer, trailer, robotrobot
pembangunan di bukit, padang golf dan
tempattempat kumuh

Pinggiran sungai hingga ke pojok warung. desadesa
dan penghuninya,tlah menjauh. pergi dari rumah cinta
kubiarkan jiwanya luruh dan pecah. aku tak kuasa lagi
melirik senyummu, juga 1000 kekhilafan ini kubiarkan
bertumbuhan, lalu mati mengabadi. hening
dalam disket rengkuhan tanganmu.
1996







Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SETEGUK TEH
BERHENTI MENULIS NASIB

Jangan katakan kemana langkah terhenti, anakku
selagi jalan-jalan masih melambaikan kata ‘berhenti’
mari nikmati seteguk teh dan lanjutkan tawar menawar
bicara soal pribadi. Kerja keras tak berbatas
tiap hari menghitung gedung, kantor polisi
dan asuransi, menyimpan kartu kredit untuk kita
kantungi dosa bersama itu. Jadikan kawan
tanpa melawan, sebab perjuangan belum ada
kata sepakat

Tunggu waktu. Akan kutumbangkan semua harimu
di akhir lembar almanak yang kusobek
sebagai catatan, bagi neraca kehidupan kita
sesudah salam mengahiri perbincangan.
1996












Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

LAUT BERUCAP
LEWAT TOPAN

Laut berucap lewat topan, orang-orang membatu
di pantai kehidupannya sampai kehilangan perahu
selagi jaring-jaring nasib melilit dunia
masa kanak-kanak mereka dan istrinya
membiarkan tangan-tangan terpotong lidah ombak
pergi menukar keringat dengan lima piring
nasi rasa garam,
Siang ini

Laut berucap lewat topan. Selalu kita hadapi kengerian
berdatangan dari layar televisi, koran pagi
dan bertumpuk data statistik. Menorehkan luka ke mata
melengkapi potret seribu pulau. Dua puluh lima
minggu sudah kusisir pesisir. Nuraniku kian pecah
oleh gelombang kasih sayang semu
dan mata topanmu itu membawaku larut
dalam ketakselarasan data. Fakta, kini gelora jiwaku
datang mencipta rumah bagi orang-orang
yang menanti tidur bersama.
1996






Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

S O L I L O Q U I

Sudahi saja perseteruan antara kita dan hempaskan
semua debu-debu yang mengotori kepala
dengan shampoo, kita bunuh keresahan. Menggilas
dengan sepasang kuku

Tanpa teriakan: “Mengapa harus tangan yang bicara,
sedang mulutpun tetap terjaga!” –demikian selalu
kita berdiskusi tentang hutan—
setiap detik kehilangan nyawa. Meski berkali
kau tanami kembali, belum impas dosa-dosamu itu
terbakar sekalipun dalam impian kerakusan
sang penguasa
namun tak dapat kupungkiri ketika tangantangan ini
gelisah. Meraba-raba, mencari kacamata yang kesepian
di atas kepala. Selalu kita ziarahi kesunyian dengan mata
berkacakaca. Membiarkan orang-orang
menjadi penghuni
rumah gadai, penjara, kreditor, dan jeratan rentenir
sedang aku kini bermimpi dapat menyulap duniamu,
malah dikejar-kejar kepalan tangan ‘debt colector’
yang memaksaku menghuni rumah sakit jiwa.

1997






Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

EKSPRESI
SELEMBAR KANVAS

Andai lukisan kristal cahayamu
jadi kehidupan. serupa sinar
memendam cerita tentang indahnya mutiara

Di hatimu. tertutup daundaun pualam
jalanku kelam. terhalang bintangbintang
berpendaran mencipta taman
kebun ceri dan pekarangan
mengingatkan kembali pada sebuah lukisan
tentang cinta dan bayangbayang hitam

Garisgaris memaknai kedalaman airmatamu
membaca keramaian guratan warna
Setiap memandang lukisanmu
rinduku terpuruk di kanvas bisu.

1997








Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
EKSPRESI SUARA TENGAH KOTA

Suara sumbang mengerang tengah kota
dipigura pabrik, hotel, dan sawah ladang
baru terima ganti rugi,

Kita tahu keuntungan dimana-mana
hanya lukisan tanpa warna. Bermain ilusi
sampai pagi. Orang-orang jantan sepertimu
haruskah menggadaikan rasa malu
setiap kali datang koran pagi
menyudahi persengketaan, menyulut aib duniamu
memimpikan dunia berubah
sampai airmata ini mengalir

:Cukup satu naskah kumengenal karaktermu
setiap adegan hanya menari dan terus menari
lalu diam, menangkap kejelasan cintamu.

1997









Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

UNTUK KASIH
KEASINGANKU

Selalu kita pelihara kebun, sawah dan ladang. Bermula dari benih yang tertebar untuk kasih keasinganku. Sejuta tipudaya dan bau kemanusiaan, orangorang haus kasih dan sayang, kau reguk cintanya. Menembus kesepian di luar jendela. Sampai kacakaca dihatimu membunuh sepiku. Batu-batu bertebaran sepanjang pematang. mengurung desa kecilku Indonesia. Kini ada misteri yang tak terpecahkan. sebab kita tutuptutupi semua ketakjuban. mengatasnamakan kemaslahatan. lalu kita larut dalam syair magic david copperfield. terkesima pada keganjilan-keganjilan semu. Sepanjang jalan ini. selalu saja timbulkan bola mata kita nanar. Begitu liar, bocahbocah dibiarkan memandang kebenaran yang kau usung itu, kita rampok asin manis dunia. Lalu mabuk berputarputar dalam permainan dolar. perjudian, kekuasaan, juga senjata mata gelap itu meradang diujung merah putihku. Saat berdoa, tak sadar 100.000.000 tubuh tak berdosa. penuh, keringat, darah dan air mata. sampai cuaca mengasingkanku. ketakjuban itu, kian berasa hangatnya pada kami yang duafa. dengan membungkus kemiskinan. di bawah pohon karet, bergelantungan, di akar yang tumbuh kekar meneriakkan cinta sepenuh tenaga. bermimpi panen tahun ini, jadi pokok dahan kehidupanmu, sembari belajar mengurai ketertinggalan, lapar, dan dahaga kita, menghitung angka-angka. Seberapa panjang batas usia kita.

1998



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

EVAKUASI
DARIKAMAR
YANGLAIN

Usai operasi plastik, dimulai dari mata, kakinya
daun telinga, hidung dan kelamin jantannya
telah jadi pasukan

Berbaris mengalahkan kekerasan telunjuknya
lalu kubaca kesibukan orang-orang dalam kamar
sunyi pun memburu truk pengangkut sampah,
membuang darah hingga bercerai berai. Sedang
teriakkan, hujatan, laras senapan, tendangan
dan erangan orang-orang di liputan televisi. Stasiun asing
mengajakku memilih dari kamar yang satu
ke kamar yang lain. Meski dengan perasaan
sebagai prajurit yang tersisih
berlarilah bung! karena di sebelah kanan kota ini,
masih ada rumah besar
dengan seratus kamar. Untuk tempat berseteru
dan berikhtiar.

1998-1999







Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

EVAKUASI
SEKITAR KAMAR

Kenapa harus memaksa kosongkan kamar
sedang bunga tujuh rupa baru saja di larungkan
dalam baskom. kain kafan menutup makan siangmu

Yang kuingat hanya satu, sehabis menangis
seluruh keluargamu mengajakku berdansa. sungguh
menyenangkan. meski dalam sekejap telah kau ayunkan
langkah. kekuatan mana yang mampu menahan
jika waktu yang datang dan pergi
menawarnawar bunga itu, memiliki makna kematian

Sejak mula aku memang terbiasa berkirim surat,
kadang harus teriakteriak. di tengah hutan
dan pekarangan kita yang poranda
di sini telah jadi amuk, arena saling lempar batu
kau pamerkan luka diantara korbankorban
yang terus berjatuhan. seperti hujan, pelurupeluru tajam
berhamburan dari moncong laras ambisimu.
sampai doa kami berondongkan ke telingamu
luka telah memberi kehangatan baru
sebelum sumbunya dibakar
matahari.

1999



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

GERHANA BULAN

Kumasuki daerah yang kau selami, sampai jua suaramu
terpelanting ke mesjid. Menggunting jiwa ini,
hingga kering. Bersua di wilayah yang tak terpetakan
sebuah negeri yang gaungnya dimitoskan
lewat nyanyian dan seribu impian

Angin kembali datang, saling menyapa
burungburung rindu mencari sarangnya, sambil
mengaitkan buah-buahan dan cerita kanak-kanak
yang difosilkan tanah kelahiran
harapan pun terus dapat
mengembangkan sayapnya pada
rembulan yang poranda.

1999








Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

GERHANA BUMI

Sesudah senja datang. hidup telah kurampungkan
dengan mengalirkan jutaan virus akut
aku hanyutkan menuju laut

Oleh sebab air dalam diri ini, digerakan rasa
terpenjara di buihbuih ombak, amuk dan ambisimu
tak bisa kutinggalkan. dengan seribu panah
berhamburan menuju dadaku.
tibatiba selaksa cahaya menangkisnya
di bumi yang gulana, tombak dan patahan busur, tumbuh
begitu subur, menjadi tanaman yang menghijau

Mungkin karena kau telah lupa saat dipersinggahan
antara cuaca itu, surga yang direngkuh dalam setiap
perjalanan. selalu kau pahami dengan
menyediakan perahuperahu baru dan bidak yang kuyu
sampai di tempat pilihan untuk persinggahan ini
semua pemilik hati tak berduri. berlari mengitari bumi
doadoa pun tak ada lagi. ruhnya tengah dipendamkan
dalam pasir jiwanya yang dingin.

1999







Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

KERICUHAN DALAM
KAMAR SEWAAN
: FAS
Kalau bukan kau yang menyeretku, tak akan kularikan
kendaraan ini, dengan kendali hasrat beku. Sisa
keringat juga daun-daun yang berguguran. Kembali
kau tiup kericuhan dalam kamar sewaan. Setelah
mengusir burungburung, dengan boneka jerami
mainanmu. Dalam kostum petani yang koyak batinnya
sebab buku-buku telah mengelupas sampulnya
di atas kepala yang tersari dari realitas empirisme
malam dan kefanaan siangmu, juga irama tarling itu
menjatuhbangunkan tidurmu. Kelam oleh deru suara
kipas angin, menambah dingin sunyi malam, sepanjang
kamar sewaan. Lelah dan lengang, menyapa gerimis
mengiris-iris, tanda telah datang waktu pulang
Tapi sampai dengan pemilik rumah menutup
semua kamar, kau masih terbujur kaku di situ. Di pojok
pintu, membakar kamar menjadi kerajaan sunyi
bagi siapa saja yang masih mengantungi sisa racun
dahagamu. Bujuk rayu dan tangan-tangan beku
tengadah. Pedulikan darah yang bernanah
di ketiak malam, melengserkan kesadaran kita akan
teriakkan anak-anak menyayat. Seperti pecahan
bohlam lima watt dalam bungkus rokok .

1999



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

CATATAN MALAM

Pada akhirnya kupilih kalah, tanpa harus mengalah
pada nasib yang menjadikanmu tertib. Pada takdir
menukar tabir keterbatasan memacu jalan gelapmu
sendiri. Ini malam sudahkah tercatat di buku
harianmu atau aku memang harus sendiri lagi. Bermain
sunyi. Meski dalam hati kita sama-sama tau putramu
batu-batu. Namun kita tak pernah bisa satu, rahasia
yang terpatri. Kkapan kita slalu menjamakkan
atau hanya menyantap kematian

Sarung dan bantal menjadi jawabannya. Terima kasih
sedari dulu dorong moril menyeka kerdil dan kasih
yang diberikan tutup saja dahulu. Sembari menyusun
buku harianmu. Dengan tembang tarling
dan organ tunggal. Lalu lupakan aku karena kita
tak bisa satu. maafkan juga segala kealfaan
yang mencatat noda hitam di dalam memorimu
kudo’akan matahari terbaik untuk hidupmu
pandangi dunia akhiratmu. Satu pintaku, jangan, tuduh aku mengkhianati kesungguhan, dan jangan tolak
kedatanganku nanati. Sebab hati ini
telah terukir dengan sederet puisi dihatimu. Selamat
jalan, selamat berpisah dan maafkan aku. Bila terus
menerus membuatmu sengsara.

2000



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

CATATAN MALAM
LIMABELAS

Rambutmu memerah, mengungkapkan darah
sisa usapan tangan. Kasih sayang dan rinduku
bertumbuhan. Kecup manis lehermu. Mengundangku
rasa semakin bersatu
tinggalkan ratusan cahaya, merebut keremangan
juga laut yang membasahi matamu

Ingin kulepaskan rengkuhan malam durjana ini
berat langkah kaki menjinjing sandal. Telapak tangan
dan rajah baru, menggenapkan dada
sebesar kesabaran pelataran hidupmu
biarkan ku jagjagi kedalamaman samudra hatimu
karena malam cinta ini, malam sayang ini, sungguh
kebahagiaan semu itu, adalah
malam yang tak jauh dari cahaya bola matamu
juga memori dalam penantian para pertapa
mata melolong di lorong malam
bergeriap capai ujung gaun pengantin Sampai malam
menyunting robekan rembulan.

2000






Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

CATATAN MALAM
EMPATBELAS

Tak usah bersembunyi di gelasgelas pecah
botol dan meja yang gelisah
tak usah mendidih digejolak rinduku yang bersedih

Aku ‘kan terus menentang untuk datang
sembari membawa
umbulumbul kasih sayang. dari lembaran malam
kupintal dan kurajut cinta, mimpi juga realita
jadi cinderamata
kanvas dan vas bungamu
menyatu di kota yang kian membeku.

2000














Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

MALAM CINTA

‘Ku harap ada pagi dengan sejuta cahaya memperjelas
pandanganku, untuk menerobos daundaun kehidupan
sehingga anak cinta yang lain tak lagi bersandar di situ
pelaminan biru dan kelambu malam

Beri waktu atau tempat terdekat di sisimu
agar jarak antara kita tak selalu berjauhan,
untuk terlalu dekat aku memandangmu
akan bertambah rasa, seteguk saja. Sayangku juga

Biarkan jalan-jalan membuka ruang kesadaran sendiri
selagi pintu yang lama terkunci, aku sudah letih
tak mampu lagi menyembunyikan perasaan kasih
atau malam cinta ini memang tak pernah tau
sedikit saja mengenal kata mati.

2000












Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

MENJEMPUT MALAM
DI TERMINAL CIREBON

Kulepaskan senja ke seluruh area parkir kendaraan
aku dihujani tawaran asing, orangorang ikut
bersaing mainkan tarif, mencekik leher. sampai kepalaku
terlelap di jok bus antar kota antar propinsi. tersihir
selagi mereka memaksa bersandar pada tembok jorok
sisa solar, asap kendaraan mengerak bersama debu
melarutkan kelelahan. ditenggelamkan mata liarmu
perempuan baya memoles gincu di pojok. keremangan rumah mesum, lelaki berbelati iseng, berebut gelasgelas kopi, mulutnya mulai komatkamit. jum’at kliwon, kemat jaranguyang tak ada lagi dialog tentang aroma racun
dan suara cekikikan perempuan, mengundang gairah baru dua tusukan para calo gelagapan. kondektur pun ikut menari. berpasangan, desah nakal, tangan gatal seperti serangga. gerayangan melepas malam. sampai habis jadi arak. begitu garang melayang layang. bau keringat dan aroma naga berhamburan. ke seluruh pelosok kota. terhegemoni terminal. Kota ini penuh langit
mulut penjaja tiket, para pelancong saling tunduk
tak tahan menatap tatto di tangannya, entah sedang menakut-nakuti siapa. arogansi kekuasaan membelit lelah sesudah menangkapi sunyi, sampai datang, “Sangkuriang” mengingatkan legenda parahiyangan.

2001


Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
MENANTI SEPANJANG JALAN

Menunggu fajar, perut lapar mengajakku bertandang
di warung soto. Mbak Marni, kalahkan kantuk
malam merubahnya jadi pedagang. Sampai pagi
derit rem kendaraan parkir, sapa tukang becak mengajak
keliling kota. Melewati suara gaduh terminal, meniti
kota sehabis basah. Sepanjang 2,5 Km beku, aku digoda
lonte iseng. Ngaweawe, ngajak kencan di sebalik tembok
juragan. Di kota Jendral bajuku basah. Di amuk kebocoran informasi. Mereka luput dari polisi, atau karena sudah bebas rajasinga dan spilis?
Hujan teriak, mendesahkan kenangan. sampai tinggal gerimis. laju kendaraan, mendorongku

Di perempatan terakhir. Seratus sembilan puluh dua kepala terlelap sepanjang emperan Cina. Tak ada yang berani ganggu. mungkin dikira mahasiswa pulang demo,
gelisah terlukis di langit jingga. Matahari kecilku
membelah pagi. sonder sarapan kutumpangi kendaraan hijau, mendaki bukit dan gunung batu. Gundah gulana
kutenung gunung, jadi patung yang makin membuatmu bingung.

2001




Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SENANDUNG BATU RADEN
Tanpa jaket kukalahkan gunung. keringat pun lengket puncakmu yang cantik, gaunmu memerah bata. siratkan
keramahan. sampai tubuh anggun melilit gaun hijau
kupotret kesepian ini. hingga pagi dari jarak 3,5 Km. terminal pun sepi. semua penghuninya memandangku acuh, ku cukur janggut, ku teguk obat kuat. seorang nyonya mencampur madu bagi ramuanku. tapi aku gagal mendaki 1,5 Km lagi menuju Pancuran Tiga, atau Pancuran Tujuh. katanya ampuh beri semangat hidup namun soal mistisisme dan mitos kecemasan itu sampai mendering telefon. hingga di penginapan kutunggu siang yang dijanjikan. tak kunjung datang, kau malah berhitung mendahului parkir di pembaringan sedang aku terasikasik bercakap dengan pemuda gunung “Maaf, kota ini sampai petengahan rembulan, tak berpenghuni
konon pandu dunia hendak mukim di sini,” akrabmu
hatihati, isyaratmu bicara tentang penduduk ungsian
ia tak ingin terkontaminasi arak dan racun pegunungan
di area pelancongan ini, ku terkesima disuguhi isyue
ketan Bandung, bolu Semarang, dan serabi Pekalongan.
“Di sini ada juga dodol Cina Taipeh,” tawarmu, sembari mengunyah mendoan rasa cengek merangek ke tenggorokan. sampai tengah bulan nanti? So, pasti cuma ada dalam peta lamunan.

2001



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
MASUKLAH YOGYAKARTA

Masuklah Yogyakarta. Angkat koper, ikat kepala
3,5 jam sudah kutahan, membuang sari pati minumanku
diri rapuh terengah-engah sebab kelelahan yang dalam
mencoba bergurau kalahkan kecongkakan bus berkekuatan dingin AC, sajian film, dan lagulagu kenangan tak gentarkan hatiku, untuk terus menahan nafas. Hingga lewati Kebumen, Kutoarjo, Purworejo, wates, Bantul dan Sleman rimbun rumpun bambu resahkan hatiku. Kau coba mengajak tertawa
di keredupan cuaca. Seperti bunga tebu melambaiku malu-malu menyapa “Selamat datang di kotamu,Yogyakarta,” kutatap tembok-tembok, patung kala dan spanduk yang telah jadi arca ikut bicara di situ sepiring gudeg, daging ayam dan peyek. segelas teh manis melupakan gejala diabet juga keresahanmu seorang ibu yang mencari-cari anak gadisnya. Sampai sudah di terminal, benda-benda bergerak, mendekat ke stasiun kota, mengajakku bermalam. Ini membuat kenangan tersendiri seperti sejarah yang terpatri dipuncak candi. Menjadi artefak bisu
Tiba-tiba tukang becak dan sais andong menyapa dengan keramahan menuju malam. Kau bungkukkan sejarah. Dialektika dan estetika keris luk pitu melekat angkuh menantangku di punggung Sultan Mataram.

2001

Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
MEMANDANGMU DARI ATAS ANDONG
Bagai seorang priayi kraton. aku diajak keliling kota
sepanjang 5 Km memotret Yogyakarta. sepeda motor dan becak tua, gadis kecil berkaca mata. naik sepeda jaman Belanda Aku berbisikbisik, seperti pelancong yang sombong menulisi tokotoko di hatimu, dengan rasa manis jenang gula. menikmati rokok menuju jalan Malioboro. kulihat peti mati dengan gaun merah putih. seonggok batu nisan berukir disitu entah bertuliskan nama siapa. “Menerima pesanan!” serunya. aroma kamboja, wangi melati , kepul dupa dan bau kemenyan membuatku gelisah. jalan andongku perlahan. pak sais tersenyum ceria, sambil mencambuk kuda dengan teriakan bertumpuk doa duhai Yogyakarta, kumasuki jendelamu, lewat terminal manusia. pedagang nasi gudeg dan gerimis menuju parang tritis, kotamu basah. aku dibuat takjub meneruskan kegelisahan ini membikin catatan bisu di losmen kembang. menari, terus menari. menangkapi arus kemolekan kotamu.

2001










Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
KISER PENEMPUHAN

Kulepaskan seribu panah,
jadi angin yang menjulurkan hawa dingin
seantero langit bangkitkan selera menatap
mata ini. Menangkapi hari-hari sampai buta
diri remuk, jelang binasa, bagai Bisma
sunyi palagan kurusetra, sisakan debu
deru kuda lari. seperti angin
dan megamega altarmu
entah tempat untuk memuja siapa

Kulawan rasa perih dan luka lara ini
menjadi larutan kimia dalam kaleng
yang menyisakan suara rintihan
atas perpisahan ini, perang pun kusudahi
dengan mimpi yang diramaikan, tarian,
irama hujan dan airmata. buah dari prasangka
kecurangan, dan kekalahan bermain strategi
siapa berani bayar mahal untuk dunia yang fana ini.

2001









Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
KISER KEPASRAHAN

Sebelum orang mengenang melodi
atas irama kenakalanmu anakku. usia yang beda
tak menyisakan alamat. tangantangan yang cidera,
dan suara kaki melangkah mati. kesunyian berabad
mengantarmu, menuju rumah pengasingan
kuburku membeku penuh aroma wangi kamboja

Menjadi arah untuk jalan cintamu, hingga
bulu kudukku merinding. sampai berbaring di sini
dengan kartu selamat jalan. dan suara gagak ke selatan
menghunus belati perjuangan. asamu yang kelam
bersisa senyum pagi hari, penuh bunga,
bau keringat, semangat baja dan kain yang kusam
kubungkus keangkaramurkaan dengan diam
sampai maut membawaku ke laut
samudra luas kepasrahanmu.

2001











Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
KISER PERAHU

Perahu-perahu telah diukir dengan laut airmata
telah pula kau buat cerita pelabuhan kayu dan batu-batu
prasasti atas perjuangan masa lalu. Kutinju tangan
dan kakimu. Melangkahkan cinta dan kebenaran
sampai maut merenggut. Aku pun takut
ingin kulayarkan gagasan, untuk mengabarimu
saat mimpi

Masa lalu telah kutulis dengan tinta darah
sebuah poster tergambar perahu. Memetakan perjalanan
kemerdekaan yang diberangus hingga hangus
lalu negeri ini kau sulap jadi istana Cinderela
yang lahir dari rahim sungai Ibumu. Jiwa pengembara
menjaring mega-mega dengan segala cuaca
“buruk rupa cermin dibelah” protesmu,
siapa sudi mengasah pisau tanpa batu-batu.

2001











Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
KISER PENANGKAR

Bersimpuh di hadapanmu. dengan tubuh kuyu
penuh rasa haru, juga vas bunga kebohongan
menangisi tiga tahun perjalanan
belum juga datang. coretan warna
dan kesadaran yang dicaplok,
tinta mas tak pernah terwujudkan
di baju kesayanganmu, memuat darah
lewat pidato sambutan terakhirmu

Ibu negeri belikan semua gaun
bertuliskan ketulusan, bahkan semangat,
airmata dan keringat bapak, menarik becak
didesak impian dunia. Saedah
aku Saeni, menarinari kesetanan
memencetmencet bisul ditangan
menggambar di pasir para musafir
tanpa makna kemerdekaan yang hakiki.

2001










Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
KISER KEFANAAN

Warnawarni keperihan jadi wilayah kegembiraan
kalau bukan karena adikmu, Saedah. Ingin aku
mewarisi gelagat jelekmu. Berkubang ditelaga uang
kemana pergi kuikuti terus
meski lelah hati, Saeni dan hatinya. Seperti
batubatu sejarah menjadi melodi sepanjang jalan
Sekali membisu. Menangkapi kembali, bayang
pegunungan yang jauh jadi fatamorgana
Membiarkan airmata tumpah ruah
di rok baju yang dibeli bapakmu, Sarkawi

Matahari pun mulai mengusir embun
hidup ini penuh kenangan. Irama seruling mengalun
jadi bukti, Kang,
kita memang belum berbuat apa-apa, meski
sudah mandi. Bau cat dan baju yang rusak
adikmu ini, Saeni. mencari dan terus mencari
illusi yang hilang dan masa kecil yang poranda
di sebuah wana, sekitar ganasnya tatar Pantura.

2001








Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
KISER KESUNYIAN

Percayalah pada diri ini. semua yang dibenamkan
Maemunah, lewat nama jelekmu. di sudut jalan
merasa bangga Saedah dan Saeni meronggeng
padahal kami minder
jadi artis sepanjang zaman. kegilaan ini
kalau terus kau biarkan keliaran ibu tirimu,
demikian edan,
jalan ke surga makin jauh dan otak kita pun
pecahpecah membuncah ke putaran tujuan
yang makin keblinger.

2001

















Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
ODE MATAHARI

Kusambangi peristirahatan terakhirmu di bawah vikus binyaminka yang rindang, bunga-bunga pualam mengitari altarmu. Matahariku. Pusara tanpa jendela
enggan kulawan kesejukan kotamu di antara pendoa,
tak ada habis-habisnya airmata dari orang-orang yang datang tanpa meninggalkan alamat. Bbatu marmer hitam saksikan wewangian dari 1000 ketulusan yang dialirkan hati khusu. Pagi itu kucatat kelahiranmu. Kalau saja masih berkuasa, bung, pasti tersenyum, menyaksikan negeri yang kau ukir dengan pahat kemerdekaan ini, sarat menapaki langkahmu. Bahkan saat menyambut harimu, dengan spanduk, renungan suci, pekik merdeka! Putra Sang Fajar. telah lahirkan jiwa raga ke wilayah aneka cuaca. Sampai aku bersimpuh di kuburmu, hanya bisa menunduk. Ddihari kelahiranmu, belum datang kesadaran persatuan yang kau ajarkan lewat pidato, tulisan, lukisan, bisikan bahkan api kemarahanmu itu. Siapa sebenarnya nasionalis religius itu? Siapa sih religius nasionalis itu? kalau bukan anakanakmu, yang kini mewarisi realitas batubatu butiran airmata, sejarah bisu. Wahai matahari yang beranak pinak, tunggu aku, kusudahi khaul ini. Ssampai kemudian kutemukan buktibukti permainan dadu dari lawan dan kawan,yang telah membenamkan namamu di sudut sejarah yang diburamkan zaman.

2001



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
DUKA LARA DURSASANA

Kutukan itu, duka lara bagi Dursasana karena Bima melihat biungnya, Drupadi bersumpah mengeramas rambutnya dengan darah. hadiah itu memberi poin untuk pelecehannya ia penggal kepalanya. terbukti dipertempuran seru di padang kuru. Dursasana terbaring kaku, kepalanya terpisah, darahnya dimakan serapah
siapa mau berkalang tanah. menyerah di bawah hujan palu godam, dan seribu panah mengincar maut. namun aku belum takut kalut untuk mati, anakku. perang, membuka tabir selimut hati, lepas tali sejarah, jiwa yang pasrah, tersenyumlah biar gagal memerdekakan raja di kerajaan cinta. emosi diri dan absurditas masyarakat istana itu, hanya ada pada seorang pangeran yang kesepian. mengukur ketebalan tembok kamarnya.
akankah kita biarkan mereka terus bermain dadu?
menenggak ciu, sampai mabuk dan kemenangan
yang diperolehnya dengan darah rakyat. serta senjatanya itu, kutahu, bisa rapuh oleh palu dahsyat perseteruan antara kita yang hanya mampu mencipta kehancuran. lalu kapan kita kembali ke pekuburan.

2001





Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
MEMBACA MALAM

Sura lengking gasing. goreskan luka
lengan, tangis rakyat terasing, ditepis
habis bergelas anggur, kehidupanmu
seruling dengan irama keperihan seperti ini,
jengkrik, kelabang, orongorong dan kecoa
meraung bingung mencaricari cahaya

Gelap dini hari menyadarkan kesendirianku
duka para pertapa, terpatri di wisik angin
duhai laut, berbayang bisu, usir gamang
disaat kubaca kitab ini, tanpa merubah diri
jadi batu-batu artefak yang beku
rindukan waktu untuk terus berpacu

Membaca malam sampai mata berlinang
selalu mengingatmu, hilang berkubang
di tanah lapang, penuh ritih kelabang.

2001.








Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
ODE NELAYAN

Siapa menginap direlung malam. Sampai pagi
membakar dadamu. Matahari tak lagi berkedip
cahaya garamnya membentuk tangan kaku. Bau Lumpur
memendam perjalanan hidup, hingga laut jadi pasang,
kaki mengangkang, tangan sedekap, ditelikung
suara mesin diesel yang bergetar. Sepanjang malam, kudengar cerita tentang perahu, misteri yang dikaramkan laut utara. Pulau Jawa. Jadi muara cintamu, impian nelayan. Hidup-mati, tak pedulikan hutan bakau dan tambak udang. Bukan berarti senja mudah jadi uang, sampai angin malam gelisah. Debur ombak gaduhkan suara kepak manyar di pucuk cemara. Ranggas daun trembesi, langit luas. Menyaksikan anak-kanak bermain gebrag slodor, di bawah purnama. Anak perempuan kita bernyanyi. Menjadi dalang sintren, sinden tarling, goyang dongbret, berokan, “mabok bae!”,
Menakuti kekuatan hitam tiga generasi dikeremangan desah nafas nakal, mengajakku jadi kerbau. Diseret ke perahu untuk berlabuh. Aku iseng mengejar satwa pantai tak bernama itu. Lalu kubiarkan burungburung hinggap di menara perahu tak berbendera. Sedang aku yang kini berkubang dalam lumpur sungaimu, cuma diam. Meneguk kesepian. Sepanjang Pantura, gubukgubuk atap rumbia. rumah kita laut para pecinta.

2001.





Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
ANAK LAUT

Bermainlah terus anakku, sepanjang sungai, hingga sampai menuju muara. Berebutlah melempar kepala mangrouf
di lumpur garam. Amis tubuh, dan ikan-ikan yang letih
bau karat, angin laut melayarkan impianmu

Mengantarkan anakanak bermain gundu, dari tiram,
Umang-umang yang terpelintir dahaga dan kelaparan
“tak ada lagi perahu bagi bapak yang rindu melaut”
ujar seorang anak menatapi muara yang lengang
matanya kosong mengawang gelombang
perutnya bolongbolong. Jemari mereka bergerak cepat
saat melipat kertas bungkus kacang yang kopong. Sampai sudah, kau sisihkan riak ombak dan tarian uburubur, diajak
ekstase ke negeri yang jauh. Sampai dengan perahu-perahu kertas meluncur dari tangannya. Sepuluh, seratus sampai
seribu lebih dua hari angannya meliar. Diantara hijauan rumput laut, benur bandeng bersaksi.Kusisir samudera ini,
hingga membentang bianglala dunia maritimku.
Menjadi tarian cakalang, senandung tengiri dan puisi cumicumi, tak ada lagi rasa dengki selain menjadi pengecut yang kecut sampai angin tibatiba datar. Perasaan anakanak mengalir ke hilir. Ke laut yang dalam. Istana mutiara, Penghuni tiramtiram seteguk kelapa lepaskan dahaganya. Kesadaran lahir bersama “esok, bukanlah impian!” bisik asanya yang kian karam.

2001

Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SULUK RINEKSO
“ono kidung rinekso ing wengi teguh ayu lupoto
bilai kabeh jin setan datan purun peneluhan tan ono
wani.......”
Dan sekujur badanku bergetar atas peristiwa demi peristiwa yang diisyaratkan selang sebulan, usai tarian wedus gembel. Di puncakmu. Merapi, ku tau baru ada tanda atas cahaya kemurnianmu yang mendekapkan imaji juga masa lalu yang buram. Selalu kidung berkumandang saat pini sepuh mengkhawatirkan riwayat generasi dan artefak yang hilang. Sejak Majapahit, menuju Mataram, Demak, dan kembali Mataram mengulangulang sejarah yang buram. Di sela kemenyan dan wewangen disekujur kerismu Yogyakarta, memberikan garisgaris untuk menyekatmu seperti dimitoskan tembok dan batu bata. Mengungkap misteri tentang hilangnya blangkon sang sultan. Atau ketakjuban atas trah yang kini tak lagi dimaafkan. Ini memang sekedar kidung, tak bisa hentikan mendung juga hujan airmata di beranda nusantaraku. Penuh raung histeria atas nasib, dan juga kehidupan. Dari retak bumi dan altar sajadahmu Yogyakarta, kami ikuti irama batin bunda pertiwi, untuk bersama peduli pada jasadjasad yang masih merintih di pondok putih, pada jasad yang diperjuangkan para malaikat, pada nyawa yang masih milik Tuhan. Pada Allah yang baru saja memberimu peringatan. ini kidung serasa gumam, tapi sanubari tak bisa dipendam Ini. sulukku untuk kotamu yang poranda, Yogyakarta. Kapan kita melayat? menonton, atau peduli untuk mereka yang jadi tumbal keangkaramurkaan.
2006



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
SULUK GERHANA
“sun mbesuk maria ngeman yen wonten gerhanane sasi
srengenge kembar lima lintang alit gumelareng siti
sedaya tan ana urip. matia munggah suwarga
neraka sungkan leboni duh .... mbenjang belah ning
akhireng zaman isun kelawan sampeyan....” (sinom)
Kematian demi kematian, peristiwa keseharian. Hilangnya kasih sayang, jawaban atas gerhanamu. Lalu bumi bilur-bilur, lahan impian penuh capaian atas kalah dan menang. Sementara siapa pemilik nyawa-nyawa ini. Sedang peristiwa demi peristiwa telah dibentang beribu tahun dalam waktumu. Lalu berhenti detak nadimu, hanya untuk memaknai kematian. Atau sekedar memberi persoalan hidup. Seribu nyawa, melayang tanpa kasih sayang. itu KunNya Allah. lalu siapa pemilik surgaMu itu. benarkah untuk kami yang tiap detik Menangis. Di lautan sajadahmu yang panjang. Atau inikah nerakaMu itu. Setiap detik mencengkeram rasa takut, tumbuhkan kekalutan, dibelenggu nafsu kami, seperti untaian tasbih. Ibadah tak berketulusan. Lalu kemana, hendak kita labuhkan, zikir-zikir peribadatan bumi ini. sementara antara kita tak ada lagi jarak yang terpisah, selain nafsu juga ketamakan. Atas ketaksabaran memaknai setiap kali isyarat dan peringatanMu. Benarkah kita bisa saling temu menyoal hayat, kematian dan kematian. Padahal peristiwa ini misterimu. Semata hadiah bagi kita yang gersang, untuk terus bersembahyang lewat tarikan nafas La...illa...Ha...illallah....... lewat zikir ini, sembahyangku, lautan. Penuh bulu, dan kapas. Sesak rasa kepedulian, sesak diantara para penderma. ‘Ku yakini untuk mengerti. Peristiwa demi peristiwa, tak Cuma sekedar jadi catatan buram di koran-koran .
Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

PUSARA PASIR

Aku menemukan kotamu yang hilang ditelan rerumputan,
saat kusemai altar bumi dengan sembahyangku, ilalang
dan jelaga berjarum. Bau tanah merekah, meneriakkan
emosi gasing dan dengung ramarama di atas kulit
bumimu. Udara kota pun berubah. Hari itu, seisi
alam sedang sekarat, tak beri kesempatan untuk kami
berkelebat. Melewati malam-malam dingin. Skala reigter
terpasang di kaki bukit. Orang-orang semedi di semak
gunung, meneriakkan katakata, doa, tak ada suara yang
keluar selain erang kesakitan dan ketakutan. Kalut bumi
sakaratul mautMu. Bau tanah merekah. Anyir darah.
mengucur dari kening ibu. Anak-anak tak berdosa itu
seperti bantaran pasir di parangtritis, berpindah tak tentu
arah. Dari mana kau datang, kemana kau pergi kita lupa
siapa diri, siapa? kita memang tak punya siapa-siapa. Kini
di antara nyawa yang membumi, menelan waktumu
mengira separuh akhir perjalanan yang diskenariokan
zaman. Llalu pusara-pusara tanpa nama itu menyisakan
wangi, dupa dan kemenyan. Bulu kudukku berdiri seperti
dipaku antara ribuan nyawa yang terpasung oleh
ketakberdayaan. Tuhan, inikah langgamMu yang mesti
kujadikan kidung, sampai sulukku berakhir,
menyembahyangi tiap nyawa yang diguratkan
elemenelemen kerak bumi.

2006



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

GERHANA BUMI , 2

Sesudah peringatan ditulis ayatayat tuhan, dimaknai olehmu dengan secarik catatan. wajahwajah terukir di atas bumiMu mengisyaratkan sebuah perintah atau perihal laku lampah. sekali diabaikan. Al-Fil. Bukan peristiwa jadian. sebagaimana matahari menelan semesta bulan atau bulan menyelimuti nur mentari, dan bumi yang kita pijak, punya nafsu angkara. Manakala cahaya bulan dan matahari mulai jadi santapan, keseharian. dimana manusia mulai menjadi pemangsa kaum di antaranya. dimana hawa nafsu jadi raja atas segalanya. mencatat cahaya maha cahaya yang hendak dicapainya ditaklukkan hanya sebatas nikmat sesaat. inilah gerhana itu. atas bumi. menelan seisinya hingga setiap lapisnya mengusai langitmu, merubah wajahwajah jadi aneka peristiwa. inilah sembahyangmu yang takjub. doadoamu yang berharap dimakbulkan, hingga setiap ayat di bibirmu adalah harapan. seperti bumi, langit dan seisinya menyembah Allah. Hu.... Allah.... tiap detik peribadatan membuahkan teror atas beribu kematian sekejap netra. penuh airmata, tangis bercahaya. Ulahmu rindu Tuhan. setiap hari tanpa kepasrahan. padahal kita
butuh ketulusan atas kesadaran langit, atas kesadaran matahari atas kesadaran rembulan atas kesadaran bumi juga atas kesadaran hatimu yang mustinya membumi.

2006



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

KASIDAH TANGAN BERSEDEKAP

Biarkan pagi melepas selimut dengan subuhmu,
penuh lumut dan dingin embun. Bergegas burung-burung
mensucikan diri di pematang. Begitu bening, berlembar
daun kearifan teranyam jadi sajadah yang memanjang
sepanjang hari. Hingga siang kusembahyangi tangan
dan kedua kaki. Tak banyak matahari dalam redupan
mata, lidah pun kelu. Kutenggelamkan hati hingga hanya
lafadnya yang kusebut. Pada setiap tetesan darah waktu

Seiring sore perjalanan tangantangan peribadatan
kukuatkan hati untuk melawan dan menekan aku. Lalu
kumainkan jari-jari tanpa hitungan melepas angka-angka
yang bersedekap membentuk kalimah agung. Begitu
sejuk, namun bisu. Marilah, malam ini kita jalani sebagai
perahu kendaraan kita. Untuk melayari kewisikan
doa-doa dan zikir yang panjang. Mendaratkan
tangan-tangan untuk terus bersedekap dalam komunikasi
sunyi. Kita pun menyatu dalam kasidah panjang itu.

2006








Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SAJAK SECANGKIR AIR

Ingatlah siapa sadar tak akan samar. baru dengar, tak cuma di dengar. dapat memandang setelah nafsu terbuang. merasakan hati jabangbayi menyatu ke bisik sunyi, melangkah hening sebening bebatuan, di sungai ingatan nafas cuma senafas. mengingatmu ya Allah semua siapa yang punya. apa bisa kita rampok untuk miliki secangkir air. yang hidup dan berfikir, berlaku sabar membunuh seluruh keinginan. agar terlaksana segala tujuan. itulah nafsu hijau yang ditahantahan, yang merah
menyalanyala. adanya diri dirasaMu, rasa ingsun. Sun ada rasa pun ada. membangun manunggaling diri menyatu padu dalam subuh. sebaikbaik waktu muka dibasuh. dhuhur, berkumpulnya keempat saudara hati bercampur. asyar, yang membuat langkah diri tak tersasar. magrib, waktunya untuk mengingat Allah dan
koribNya. Isya, mengingatkan kita lahir tak bawa apaapa inilah kasidah batin, ibadah kita bersama. Menggauli waktu bersama daundaun. hijau, hawa dingin pagi nan sejuk. membuka perjalanan, mewarnai lagit biru membaru. menaburkan ingatan. untuk selalu bertemu kembali. secangkir air, ada tempat dan airnya mengingat Allah, dhohir dan batinnya.

2006





Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

KASIDAH JALANAN

Dulu gelap, gulita kini. Melihat alot, mata melotot
Mencari-cari rumah hatinya. Melihat teman, datang syirik
badan sekujur membusik. Tak ada bedanya, punya mata
tak ada mata, zaman hitam kelam. Tersekap kala tiba
waktunya. Hidayah tak bisa terpisah. Diterka datangnya,
kapan pun datangnya, ia inginkan tak ada
keluh kesah. Alam terang hatinya, bening. Melangkah tak
meraba sayang, sembahyangku rumput sehalaman
bunga tujuh rupa dan juada pasarnya. Tikar pandan
melengkapi sajadahnya. Ngajiku ngaji batin. Mata
terpejam jari memetik berbiji lintang. Terhitung di tangan
berbilah kata mengucap asmamu,
jari pun berbilang. Inilah jalanmu. Dilewati, tahu
lewatnya. Pulang tahu tempat tinggalnya. Nafsumu nafsu
ingsung. Keberadaanmu jatinya diri, jadilah badan satu
menyatu. Manunggal berdua, menyatu satu. Apa
yang di kata berhatihatilah. Menjadi satu, bukanlah batu
apa yang dikatakannya jangan suka sembarang. Inilah
jalan pertemuan, enak untuk jalan-jalan
di alam penuh kematian. Mainkan musik sepanjang jalan.

2006







Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

Lagu Serunai Padi

Sulit mengerti betapa berat menahan airmata
yang meluncur dari bola matamu
meski tlah kubentangkan jarak untuk tak terlampau jauh
rindu ini terkapar begitu saja tanpa raga
milir udara laut menampar hamparan padi
lekuk gemulainya tontonkan kulit keemasan
malai padi pun kini bawa aroma gelisah cinta
harapan terpendam tumbuh dalam lumpur kesuburan
Sampai embun malam menggeriap seperti tirai
yang kasmaran. disentuh ujung jemarimu
membatas jarak di perahu sujudku. lalu airmata
ini pantaskah kususur dalam sembahyang panjangku
sedang gairah telah kurunut menuju sepi mihrabmu
bahkan bulu romaku pun tak terasa berdiri
di lautan tanpa canda

Inilah syair misteri itu. lantunan hidup yang tak terarah
singgasana sepi bersemayamkan lumut
dan noktah hijau. sampai kesejukan mengurungku
dalam kamar ketidakpastian
gerimis telah menandai usai siaran di televisi
meninggalkan suarasuara yang memekak telinga
juga senyumanmu, ikut berlari begitu datang rasa rindu
mengibarkan doadoa bagi kesabaranmu.
Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

Lagu Purnama

Purnama yang memantul ke kaca jendela
adalah sajakku tentang malam
saat dua ekor merpati kawin, melepas cumbu
kejaran. mandi nur rembulan.

1993




















Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

DOA LANGIT

Dari langit yang tak mampu kujamah,
kupandangi tanah amsalku
sinarnya tercurah ke bumi, mengalir bersama doa
para pertapa. diberangkatkan
penunggang kuda kelana
meninggalkan jejak sepatu. jadi fosil
sejarah dan peradaban.

1993

















Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

RACUN DAN BUSA

Air yang mengalir dalam labirin beku
kian menindihiku, ke dalam dinding plasenta
menggedorgedor jantung. membawa
langkah limbung menuju langitmu
mengajak bercengkrama tentang angin
dan bungabunga. kunikmati mandi
di lautan berbusa

Air yang kuteguk bukan racun
tapi darahku sendiri. kugerogoti
lapisan dagingku. membuat ku terkulai
lemas sebab terus menerus menari
tanpa sadar itu dupa dosadosa. sampai kini
belum kutemukan penawar racunmu
agar aku tak terus menerus
terongrong begini.

1993









Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

Sajak Diam, II

Berhentilah, meski tak ada orang yang tak mencuri
seperti setan, melingkari dunia. mengkerutkan
selsel ozon hingga merajalela. dicipta untuk kehancuran
dan kekuasaanmu mengincar darahmu sendiri
tulangtulang yang keropos pasti tumbang
kau kuasai ganasnya serum waktu
menggerogoti seluruh usia. menjadi penyakit
yang bersarang di daun jendela, kursi
kesewenangwenangan segera dikubur hiduphidup
untuk selanjutnya dimusnahkan.

1993













Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

PROSA KERINGAT

Sabun mandi dan shampoo menggelembung
tangismu alirkan duka ke kujurku
hampir selesai kudirikan
rumah boneka dan garasi mobil
mainanmu

Kutermangu dibelenggu nafasmu yang harum
dari uap sabun dan harum shampoo
menyusup ke ubunubunmu yang ranum

Ketahuilah wangi keringat ini menyimpan
selaksa zikir dan cengkeraman doa.

1994












Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

DIMANA DIAMMU

Di mana diammu, saat angin mengalirkan deru ombak
dan cuaca dalam bayangan lanskap siang
(aku cari secercah nur yang datang)

Di mana sepimu, saat hujan merintangi jalanjalanku
dan bumi punggungnya bilurbilur disambar petir
(aku menanti datangmu)

Di mana sayapmu, kala malam menenggelamkan mata kita dan dalam terpejam masih menanti mimpi bertemu rembulan
(aku melihat bayanganku sendiri tapi sangsi)

Di mana kelammu, sejak ayam jantan menyambut pagi hari menjelang kebangkitan rohroh jahat
dan pergi sebagai jin atau setan
(aku belum pulas tidurnya)

Di mana, di mana, di mana !
(tetap kuyakinkan untuk terus bertakbir di sini)

1994


Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

ZIARAH MALAM
Berulang kali kuziarahi kesunyian
do’a ku taman laut dan batu karang
serangkum bunga rumput tergeletak
menandai istirah, perjalanan panjang

Kuikuti gelombang hingga pasang
jemariku buih tempat sembunyi ikanikan
menoreh seribu catatan di pantai
kubangun dari gairahmu
irama seruling dan denting melodi gitar
menjadi getar yang kasat
sedang malam cuma bingkai bagi pekuburan
potretmu, pusara rembulan.

1995









Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

LANSKAP SIANG

Surgaku adalah semua gelombang
yang belum berhasil kujumpai muaranya,
hingga hilang arusku, berpendaran tanpa bekas
di kedalaman ombakmu aku terhempas
mengusik wajah keruhku
menghamburkan sayat dan jeritan
ku jatuh di ketiak sungaimu

Inilah surgaku, tempat kehangatan datang
dan berulang pergi kembali sekehendak hati
dicari dan mencari ke mana usai
dan perginya
Arusku.

1995








Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

KEMBARA MALAM

Aku telan mimpi semalaman
pengembaraan belum juga terbenam
telah kusunting alam di atas dadaku. waktu pun
berkarat
penanggalan rontok. menanti datang
selaksa bintang

Di keranda malam ini, sunyi sampai sudah
menjadi sejarah warna warni
dan tak akan ada lagi yang mampu bicara
sebab lidahnya telah tumpul dipatuki zaman
entah sampai kapan.

1995










Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

PROSA AIRMATA
* Mengenang Masa Lalu “R”

Masih mampu kuurai waktu sambil
memandang ke cermin. belajar menyingkap
bayangan dan perjalanan air mata
dalam hitungan almanak, tanggal satusatu

Pada wilayah fantasimu, bayangan kutangkap
hingga jatuh ke mata, jadi rabun dan basah
pipimu diam, dilintasi kesadaran
datangnya cinta yang melegenda. lewat
surat bersampul merah jambu

Sengaja kupilih berdiam di bingkai potretmu
meski kacakaca tak lagi mampu bicara
kupandangi semestamu, rinduku mengalir
menjelma keheningan isyarat matamu.

1995








Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

JIWA MABUK

Jiwa mabuk, bangunlah
demi kesadaran. Tikar sukmaku
menyeimbangkan sedekapnya jemari
hingga luluh rontok belulang
ke puncak mihrabMu

Bangunlah dan buyarkan ingatan
tegakkan raga dengan pedang
sampai jiwa nempuruk
berlarilah. Pada jembatan ketulusan
harapkan cinta bagi jasad rusak
sampai petir mengawinkan cuaca
dengan suara dan pedangmu
yang bercahaya.

1995









Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SEBATANG ROKOK

Asap tembakau mengantar kita ke negeri
penuh misteri. mempekerjakan urat
syaraf. hingga menekan kepala
menjaring seluruh persendian
dan jantung kita berdecak seperti pabrik
opini. kita saling melempar sinyal lewat
nadi dan darah

Kita tulis puisi dengan mesinmesin tua
sampai jemari lelah menarikan lagu
kepayang. sedang asap tembakau
telah memabukkan siapa saja yang masih
semedi di dalam kesunyian asbak
kita pun terus berfantasi melukisi langit
dengan kotoran kita sendiri.

1995







Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

TERMINAL AIRMATA

Telah kurilis lagu dari semak belukar
bermilmil menjelajah kekuatanmu, tapi
kita tak juga berhenti

Menyusuri sepi yang meranggas
di bawah lengan mawarmu. tepis curiga
menyeka harihari basah, diterminal
airmata, kita kecup jalan hidup.

1995













Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SOLITUDE TAHUN BARU

Belum habis tidur kusampirkan dalam mobil
semua penumpang larut jadi angin, hingga busuk
semua paruparu dan darah membuncah
dari raut mukamu
tak ada sisa percakapan selain deru mesin
menenggak bensin. malam nempuruk dikunyahi
dentang lonceng tahun baru juga jerit terompet
dari orangorang yang lalu lalang di jalan raya
tapi aku masih asyik menetap disini
mengerami mimpi dalam kendaraan yang tak
habishabisnya
mengantarkan jenazah.

1995













Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

DUAPULUHEMPAT JAM
DALAM DEKAPAN

Dua puluh empat jam dalam dekapan, tanganmu
kemanusiaanku terbelah. korankoran
tak mampu bicara
mulutnya terkunci, berbisik penuh rahasia

Lalu kau tangkapi wanita dalam arus gosipmu
mengajak lelakiku hamil tua. berteriakteriak sendiri
menanti kelahiran bayi peradaban. dengan sempurna
kau lempari gedunggedung dan
memporakporandakan semua kemapanan
dengan buldozer, trailer, robotrobot
pembangunan di bukit, padang golf dan
tempattempat kumuh

Pinggiran sungai hingga ke pojok warung. desadesa
dan penghuninya,tlah menjauh. pergi dari rumah cinta
kubiarkan jiwanya luruh dan pecah. aku tak kuasa lagi
melirik senyummu, juga 1000 kekhilafan ini kubiarkan
bertumbuhan, lalu mati mengabadi. hening
dalam disket rengkuhan tanganmu.
1996




Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SETEGUK TEH
BERHENTIMENULIS NASIB

Jangan katakan kemana langkah terhenti, anakku
selama jalanjalan masih melambaikan kata ‘berhenti’
mari nikmati seteguk teh dan lanjutkan tawar menawar
bicara soal pribadi. kerja keras tak berbatas
tiap hari menghitung gedung, kantor polisi
dan asuransi menyimpan kartu kredit untuk kita
kantungi dosa bersama itu. jadikan kawan
tanpa melawan, sebab perjuangan belum ada
kata sepakat

Tunggu waktu. akan kutumbangkan semua harimu
di akhir lembar almanak yang kusobek
sebagai catatan bagi neraca kehidupan kita
sesudah salam mengakhiri perbincangan.
1996









Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

LAUT BERUCAP
LEWAT TOPAN

Laut berucap lewat topan, orangorang membatu
di pantai kehidupannya sampai kehilangan perahu
selagi jaringjaring nasib melilit dunia
masa kanakkanak mereka dan istrinya
membiarkan tangantangan terpotong lidah ombak
pergi menukar keringat dengan lima piring
nasi rasa garam
siang ini

Laut berucap lewat topan. selalu kita hadapi kengerian berdatangan dari layar televisi, koran pagi
dan bertumpuk data statistik, menorehkan luka ke mata melengkapi potret seribu pulau. dua puluh lima
minggu sudah kusisir pesisir. nuraniku kian pecah oleh gelombang kasih sayang semu dan mata topanmu itu membawaku larut
dalam ketakselarasan fakta. kini gelora jiwaku datang
mencipta rumah bagi orangorang yang menanti tidur
bersama.
1996



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

S O L I L O Q U I

Sudahi saja perseteruan antara kita. dan hempaskan
semua debudebu yang mengotori kepala
dengan shampoo, kita bunuh keresahan. menggilas
dengan sepasang kuku

Tanpa teriakan: “Mengapa harus tangan yang bicara,
sedang mulutpun tetap terjaga!” –demikian selalu
kita berdiskusi tentang hutan—
yang setiap detik kehilangan nyawa. meski berkali
kau tanami kembali, belum impas dosadosamu itu.
terbakar sekalipun dalam impian kerakusan
sang penguasa
namun tak dapat kupungkiri ketika tangantangan ini
gelisah. merabaraba, mencari kacamata yang kesepian
di atas kepala. selalu kita ziarahi kesunyian dengan mata
berkacakaca. membiarkan orangorang
menjadi penghuni
rumah gadai, penjara, kreditor, dan jeratan rentenir.
sedang aku kini bermimpi dapat menyulap duniamu,
malah dikejarkejar kepalan tangan ‘debt colector’
yang memaksaku menghuni rumah sakit jiwa.

1997
Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

EKSPRESI
SELEMBAR KANVAS

Andai lukisan kristal cahayamu
jadi kehidupan. serupa sinar
memendam cerita tentang indahnya mutiara

Di hatimu. tertutup daundaun pualam
jalanku kelam. terhalang bintangbintang
berpendaran mencipta taman
kebun ceri dan pekarangan
mengingatkan kembali pada sebuah lukisan
tentang cinta dan bayangbayang hitam

Garisgaris memaknai kedalaman airmatamu
membaca keramaian guratan warna
Setiap memandang lukisanmu
rinduku terpuruk di kanvas bisu.

1997







Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
EKSPRESI SUARA TENGAH KOTA

Suara sumbang mengerang tengah kota
dipigura pabrik, hotel, dan sawah ladang
baru terima ganti rugi,

Kita tahu keuntungan dimanamana
hanya lukisan tanpa warna. bermain ilusi
sampai pagi. orangorang jantan sepertimu
haruskah menggadaikan rasa malu
setiap kali datang koran pagi
menyudahi persengketaan, menyulut aib duniamu
memimpikan dunia berubah
sampai airmata ini mengalir

:Cukup satu naskah kumengenal karaktermu
setiap adegan hanya menari dan terus menari
lalu diam, menangkap kejelasan cintamu.

1997







Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
MENYULAP BENIH
UNTUK KASIH
BERNAMA KEASINGAN
Selalu kita pelihara kebun, sawah dan ladang
bermula dari benih yang tertebar untuk kasih
keasinganku. sejuta tipudaya dan bau kemanusiaan
orangorang haus kasih dan sayang. kau reguk cintanya menembus kesepian di luar jendela
sampai kacakaca dihatimu membunuh sepiku. batu-batu bertebaran sepanjang pematang. mengurung
desa kecilku indonesia. kini ada misteri
yang tak terpecahkan. sebab kita tutuptutupi semua ketakjuban. mengatasnamakan kemaslahatan. lalu kita larut dalam syair magic david copperfield. terkesima pada keganjilan-keganjilan semu
Sepanjang jalan ini. selalu saja timbulkan bola mata
kita nanar. begitu liar. bocahbocah dibiarkan memandang kebenaran yang kau usung itu. kita rampok
asin manis dunia. lalu mabuk berputarputar dalam permainan dolar. perjudian, kekuasaan, juga senjata mata gelap itu meradang diujung merah putihku.
Saat berdoa, tak sadar 100.000.000 itu tubuh tak berdosa. peluh, keringat, darah dan air mata. sampai cuaca mengasingkanku. ketakjuban itu, kian berasa. hangatnya ada pada kami yang duafa. dengan membungkus kemiskinan. di bawah pohon karet, ikut bergelantungan, di akar yang tumbuh kekar



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA



meneriakkan cinta sepenuh tenaga. bermimpi panen tahun ini, jadi pokok dahan kehidupanmu.sembari belajar mengurai ketertinggalan,
rasa lapar, dan dahaga kita. menghitung angka-angka
seberapa lagi akhir usia kita.

1998





















Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

EVAKUASI DARI KAMAR YANG LAIN

Usai operasi plastik, dimulai dari mata, kakinya
daun telinga, hidung dan kelamin jantannya
telah jadi pasukan

Berbaris mengalahkan kekerasan telunjuknya
lalu kubaca kesibukan orangorang dalam kamar
sunyi pun memburu truk pengangkut sampah,
membuang darah hingga bercerai berai. sedang
teriakkan, hujatan, laras senapan, tendangan dan
erangan orangorang di liputan televisi. stasiun asing
mengajakku memilih dari kamar yang satu ke
kamar yang lain. meski dengan perasaan
sebagai prajurit yang tersisih
berlarilah nang! karena di sebelah kanan kota ini,
masih ada rumah besar
dengan seratus kamar. untuk tempat bersatu
dan berikhtiar.

1998-1999






Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

EVAKUASI
SEKITAR KAMAR

Kenapa harus memaksa kosongkan kamar
sedang bunga tujuh rupa baru saja di larungkan
dalam baskom. kain kafan menutup makan siangmu

Yang kuingat hanya satu, sehabis menangis
seluruh keluargamu mengajakku berdansa. sungguh
menyenangkan. meski dalam sekejap telah kau ayunkan
langkah. kekuatan mana yang mampu menahan
jika waktu yang datang dan pergi
menawarnawar bunga itu, memiliki makna kematian

Sejak mula aku memang terbiasa berkirim surat,
kadang harus teriakteriak. di tengah hutan
dan pekarangan kita yang poranda
di sini telah jadi amuk, arena saling lempar batu
kau pamerkan luka diantara korbankorban
yang terus berjatuhan. seperti hujan, pelurupeluru tajam
berhamburan dari moncong laras ambisimu.
sampai doa kami berondongkan ke telingamu
luka telah memberi kehangatan baru
sebelum sumbunya dibakar
matahari.
1999
Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

GERHANA BULAN

Kumasuki daerah yang kau selami, sampai jua suaramu terpelanting ke mesjid. menggunting jiwa ini,
hingga kering. Sampai sudah
di wilayah yang tak terpetakan. Sebuah negeri
yang gaungnya dimitoskan lewat nyanyian dan
ribuan impian

Angin november kembali datang, saling menyapa
burungburung rindu mencari sarangnya, sambil
mengaitkan buahbuahan dan cerita kanakkanak
yang difosilkan tanah kelahiran. Menjadi legenda
harapan pun terus dapat
mengembangkan sayapnya pada
rembulan yang poranda.

1999






Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

GERHANA BUMI

Sesudah senja datang. hidup telah kurampungkan
dengan mengalirkan jutaan virus akut
aku hanyutkan menuju laut

Oleh sebab air dalam diri ini, digerakan rasa
terpenjara di buihbuih ombak, amuk dan ambisimu
tak bisa kutinggalkan. dengan seribu panah
berhamburan menuju dadaku.
tibatiba selaksa cahaya menangkisnya
di bumi yang gulana, tombak dan patahan busur, tumbuh
begitu subur, menjadi tanaman yang menghijau

Mungkin karena kau telah lupa saat dipersinggahan
antara cuaca itu, surga yang direngkuh dalam setiap
perjalanan. selalu kau pahami dengan
menyediakan perahuperahu baru dan bidak yang kuyu
sampai di tempat pilihan untuk persinggahan ini
semua pemilik hati tak berduri. berlari mengitari bumi
doadoa pun tak ada lagi. ruhnya tengah dipendamkan
dalam pasir jiwanya yang dingin.

1999



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

KERICUHAN DALAM
KAMAR SEWAAN
: FAS
Kalau bukan kau yang menyeretku, tak akan kularikan kendaraan ini, dengan kendali hasrat beku. sisa keringat juga daundaun yang berguguran. Kembali kau tiup kericuhan dalam kamar sewaan. Setelah mengusir burungburung, dengan boneka jerami mainanmu. dalam kostum petani yang koyak batinnya sebab bukubuku mengelupas sampulnya
di atas kepala yang tersari dari realitas empirisme
malam dan kefanaan siangmu, juga irama tarling itu
menjatuhbangunkan tidurmu. kelam oleh deru suara
kipas angin menambah dingin sunyi malam, sepanjang kamar sewaan. lelah dan lengang, menyapa gerimis mengirisiris, tanda telah datang waktu pulang Tapi sampai dengan pemilik rumah menutup semua kamar. kau masih terbujur kaku di situ. di pojok pintu, membakar kamar menjadi kerajaan sunyi bagi siapa saja yang masih mengantungi sisa racun dahagamu. bujuk rayu dan tangantangan beku tengadah. pedulikan darah yang bernanah di ketiak malam, melengserkan kesadaran kita akan teriakkan anakanak memecahkan bohlam lima watt dengan bungkus rokok .

1999

Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

CATATAN MALAM

Pada akhirnya kupilih tanpa harus mengalah
pada nasib yang menjadikanmu tertib. pada takdir
menukar tabir keterbatasan memacu jalan gelapmu
sendiri. Ini malam catat sudahkah tercatat di buku
harianmu atau aku memang harus sendiri lagi. Bermain
sunyi. meski dalam hati kita samasama tau putramu
batubatu. namun kita tak pernah bisa tau, rahasia
yang terpatri. kapan kita satu menjamakkan
atau hanya menyantap kematian

Sarung dan bantal menjadi jawabannya. terima kasih
sedari dulu dorong moril menyeka kerdil dan kasih
yang diberikan tutup saja dahulu. Sembari menyusun
buku harianmu. dengan tembang tarling
lalu lupakan aku karena kita tak bisa satu. maafkan juga segala kealfaan yang tercatat dalam memorimu
kudo’akan yang terbaik untuk hidupmu. pandangi dunia akhiratmu. satu pintaku, jangan, tuduh aku mengkhianati kesungguhan, dan jangan tolak kedatanganku sebab hati telah terukir dengan sederet puisi dihatimu. Selamat jalan, selamat berpisah dan maafkan aku. Bila membuatmu sengsara.

2000


Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

CATATAN MALAM
LIMABELAS

Rambutmu yang memerah, mengungkap darah
sisa usapan tangan. kasih sayangku rindu bertumbuh
kecup manis lehermu. undang aku
rasa semakin bersatu
tinggalkan cahaya rebut keremangan
laut basahi matamu

Ingin kulepaskan rengkuhan malam durjana ini
berat langkah kaki dijinjing. telapak kaki di jalan baru
biar kau genapkan dada sebesar pelataran hidupmu
biar kau jagjagi kedalamaman samudra hati
karena malam cinta itu, malam sayang itu,
kebahagiaan itu,
malam yang tak jauh dari matamu.
menyimpan memori
dalam penantian seorang pertapa
tanpa mata melolong di lorong malam
bergeriap mencapai gaun pengantin malam
menyunting sisasisa rembulan.

2000




Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

CATATAN MALAM
EMPATBELAS

Tak usah bersembunyi di gelasgelas gelisah
tak usah mendidih digejolak rindu yang bersedih

Aku ‘kan terus menentang untuk datang
sembari membawa
umbulumbul kasih sayang. dari lembaran malam
kupintal dan kurajut cinta, mimpi juga realita
jadi cinderamata
kanvas dan vas bungamu
menyatu di kota yang kian membeku.

2000














Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

MALAM CINTA

‘Ku harap ada pagi dengan sejuta cahaya memperjelas pandanganku, tuk menerobos daundaun kehidupan sehingga anak cinta yang lain tak lagi bersandar. di situ pelaminan biru dan kelambu malam

Beri waktu atau tempat terdekat di sisimu
agar jarak antara kita tak selalu berjauhan,
untuk terlalu dekat aku memandangmu
akan bertambah rasa, seteguk saja. sayangku juga

Biarkan jalanjalan membuka ruang kesadaran sendiri
selagi pintu yang lama terkunci, aku sudah letih
tak mampu lagi menyembunyikan perasaan kasih
atau malam cinta ini memang tak pernah tau
sedikit saja mengenal kata mati.

2000









Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
MENJEMPUT MALAM
DITERMINALCIREBON

Kulepaskan senja ke seluruh area parkir kendaraan
aku dihujani tawaran asing, orangorang ikut bersaing mainkan tarif, mencekik leher. sampai kepalaku terlelap di jok bus antar kota antar propinsi. tersihir selagi mereka memaksa bersandar pada tembok jorok sisa solar, asap kendaraan mengerak bersama debu melarutkan kelelahan. ditenggelamkan mata liarmu perempuan baya memoles gincu di pojok. keremangan rumah mesum, lelaki berbelati iseng, berebut gelasgelas kopi, mulutnya mulai komatkamit. jum’at kliwon, kemat jaranguyang tak ada lagi dialog tentang aroma racun dan suara cekikikan perempuan, mengundang gairah baru dua tusukan para calo gelagapan. kondektur pun ikut menari. berpasangan, desah nakal, tangan gatal seperti serangga. gerayangan melepas malam. sampai habis jadi arak. begitu garang melayang layang. bau keringat dan aroma naga berhamburan. ke seluruh pelosok kota. terhegemoni terminal. Kota ini penuh langit mulut penjaja tiket, para pelancong saling tunduk tak tahan menatap tatto di tangannya, entah sedang menakut-nakuti siapa. arogansi kekuasaan membelit lelah sesudah menangkapi sunyi, sampai datang, “Sangkuriang” mengingatkan legenda parahiyangan.

2001
Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
MENANTI SEPANJANG JALAN

Menunggu fajar, perut lapar mengajakku bertandang
di warung soto. mbak Marni, kalahkan kantuk. sebab
malam merubahnya. Jadi pedagang sampai pagi
derit rem kendaraan parkir, sapa tukang becak mengajak keliling kota. melewati suara gaduh terminal, meniti kota sehabis basah. sepanjang 2,5 Km beku, aku digoda lonte iseng. Ngaweawe, ngajak kencan di sebalik tembok juragan. di kota Jendral bajuku basah. di amuk kebocoran informasi. mereka luput dari polisi, atau karena sudah bebas rajasinga dan spilis? hujan teriak, mendesahkan kenangan. sampai tinggal gerimis. laju kendaraan, mendorongku

Di perempatan terakhir. seratus sembilan puluh dua kepala terlelap sepanjang emperan Cina. tak ada yang berani ganggu. mungkin dikira mahasiswa pulang demo, gelisah terlukis di langit jingga. matahari kecilku membelah pagi. sonder sarapan kutumpangi kendaraan hijau, mendaki bukit dan gunung batu. gundah gulana kutenung gunung, jadi patung yang makin membuatmu bingung.

2001



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SENANDUNG BATU RADEN
Tanpa jaket kukalahkan gunung. keringat pun lengket puncakmu yang cantik, gaunmu memerah bata. Siratkan keramahan. sampai tubuh anggun melilit gaun hijau kupotret kesepian ini. hingga pagi dari jarak 3,5 Km. terminal pun sepi. semua penghuninya memandangku acuh, ku cukur janggut, ku teguk obat kuat. seorang nyonya mencampur madu bagi ramuanku. tapi aku gagal mendaki 1,5 Km lagi menuju Pancuran Tiga, atau Pancuran Tujuh. katanya ampuh beri semangat hidup namun soal mistisisme dan mitos kecemasan itu sampai mendering telefon. hingga di penginapan kutunggu siang yang dijanjikan. tak kunjung datang, kau malah berhitung mendahului parkir di pembaringan sedang aku terasikasik bercakap dengan pemuda gunung “Maaf, kota ini sampai petengahan rembulan, tak berpenghuni
konon pandu dunia hendak mukim di sini,” akrabmu
hatihati, isyaratmu bicara tentang penduduk ungsian
ia tak ingin terkontaminasi arak dan racun pegunungan di area pelancongan ini, ku terkesima disuguhi isyue ketan Bandung, bolu Semarang, dan serabi Pekalongan. “Di sini ada juga dodol Cina Taipeh,” tawarmu, sembari mengunyah mendoan rasa cengek merangek ke tenggorokan. sampai tengah bulan nanti? So, pasti cuma ada dalam peta lamunan. 2001
Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
MASUKLAH YOGYAKARTA
Masuklah Yogyakarta. angkat koper, ikat kepala
3,5 jam sudah kutahan, membuang sari pati minumanku diri rapuh terengahengah sebab kelelahan yang dalam mencoba bergurau kalahkan kecongkakan bus berkekuatan dingin AC, sajian film, dan lagulagu kenangan tak gentarkan hatiku, untuk terus menahan nafas. hingga lewati Kebumen, Kutoarjo, Purworejo, wates, Bantul dan Sleman rimbun rumpun bambu resahkan hatiku. kau coba mengajak tertawa di keredupan cuaca. seperti bunga tebu melambaiku malumalu menyapa
“Selamat datang di kotamu,Yogyakarta,” kutatap temboktembok, patung kala dan spanduk yang telah jadi arca ikut bicara di situ sepiring gudeg, daging ayam dan peyek. segelas teh manis melupakan gejala diabet juga keresahanmu seorang ibu yang mencaricari anak gadisnya. sampai sudah di terminal, bendabenda bergerak, mendekat ke stasiun kota, mengajakku bermalam. ini membuat kenangan tersendiri. seperti sejarah yang terpatri dipuncak candi. menjadi artefak bisu. tibatiba tukang becak dan sais andong menyapa dengan keramahan menuju malam. kau bungkukkan sejarah. dialektika dan estetika keris luk pitu melekat angkuh menantangku di punggung Sultan Mataram.
2001




Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
MEMANDANGMU DARI ATAS ANDONG

Bagai seorang priayi kraton. aku diajak keliling kota
sepanjang 5 Km memotret Yogyakarta. sepeda motor dan becak tua, gadis kecil berkaca mata. naik sepeda jaman Belanda

Aku berbisikbisik, seperti pelancong yang sombong
menulisi tokotoko di hatimu, dengan rasa manis jenang gula. menikmati rokok menuju jalan Malioboro. kulihat peti mati dengan gaun merah putih. seonggok batu nisan berukir disitu entah bertuliskan nama siapa. “Menerima pesanan!” serunya. aroma kamboja, wangi melati , kepul dupa dan bau kemenyan membuatku gelisah. jalan andongku perlahan. pak sais tersenyum ceria, sambil mencambuk kuda dengan teriakan bertumpuk doa
duhai Yogyakarta, kumasuki jendelamu, lewat terminal manusia. pedagang nasi gudeg dan gerimis menuju parang tritis, kotamu basah. aku dibuat takjub meneruskan kegelisahan ini membikin catatan bisu di losmen kembang. menari, terus menari. menangkapi arus kemolekan kotamu.

2001


Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
KISER PENEMPUHAN

Kulepaskan seribu panah,
jadi angin yang menjulurkan hawa dingin
seantero langit bangkitkan selera menatap
mata ini. menangkapi harihari sampai buta
diri remuk, jelang binasa, bagai Bisma
sunyi palagan kurusetra, sisakan debu
deru kuda lari. seperti angin
dan megamega altarmu
entah tempat untuk memuja siapa

Kulawan rasa perih dan luka lara ini
menjadi larutan kimia dalam kaleng
yang menyisakan suara rintihan
atas perpisahan ini, perang pun kusudahi
dengan mimpi yang diramaikan, tarian,
irama hujan dan airmata. buah dari prasangka
kecurangan, dan kekalahan bermain strategi
siapa berani bayar mahal untuk dunia fana ini.

2001







Nurochman Sudibyo YS.
KISER KEPASRAHAN

Sebelum orang mengenang melodi
atas irama kenakalanmu anakku. usia yang beda
tak menyisakan alamat. tangantangan yang cidera,
dan suara kaki melangkah mati. kesunyian berabad
mengantarmu, menuju rumah pengasingan
kuburku membeku penuh aroma wangi kamboja

Menjadi arah untuk jalan cintamu, hingga
bulu kudukku merinding. sampai berbaring di sini
dengan kartu selamat jalan. dan suara gagak ke selatan
menghunus belati perjuangan. asamu yang kelam
bersisa senyum pagi hari, penuh bunga,
bau keringat, semangat baja dan kain yang kusam
kubungkus keangkaramurkaan dengan diam
sampai maut membawaku ke laut
samudra luas kepasrahanmu.

2001








Nurochman Sudibyo YS.
KISER PERAHU

Perahuperahu telah ku ukir dengan laut airmata
telah kau buat pula cerita puluhan kayu dan batubatu
prasasti atas perjuangan masa lalu. kutinju tangan
dan kakimu. melangkahkan cinta dan kebenaran
sampai maut merenggut. aku pun takut
ingin kulayarkan gagasan, untuk mengabarimu
lewat mimpi

Masa lalu telah kutulis dengan tinta darah
sebuah poster tergambar perahu. memetakan perjalanan
kemerdekaan yang diberangus hingga hangus
lalu negeri ini jadi istana Cinderela
yang lahir dari rahim sungaimu. jiwa pengembara
mari kita jaring megamega dengan segala cuaca
“buruk rupa cermin dibelah” protesmu
siapa sudi mengasah pisau tanpa batu-batu.

2001









Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
KISER PENANGKAR

Bersimpuh di hadapanmu. dengan tubuh kuyu
penuh rasa haru, juga vas bunga kebohongan
menangisi tiga tahun perjalanan
belum juga datang. coretan warna
dan kesadaran yang dicaplok,
tinta mas tak pernah terwujudkan
di baju kesayanganmu, memuat darah
lewat pidato sambutan terakhirmu

Ibu negeri belikan semua gaun
bertuliskan ketulusan, bahkan semangat,
airmata dan keringat bapak, menarik becak
didesak impian dunia. Saedah
aku Saeni, menarinari kesetanan
memencetmencet bisul ditangan
menggambar di pasir para musafir
tanpa makna kemerdekaan yang hakiki.

2001








Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
KISER KEFANAAN
-saedah & Saeni

Warna-warni keperihan adalah kegembiraan
kalau bukan adikmu Saedah, ingin aku
mewarisi adat jelekmu. Berkubang uang lalu
kemana pergi kan kuikuti terus
meski lelah hati Saeni dan
batu-batu sejarah jadi artefak. Sepanjang jalan
bisu. Menangkapi kembali
kemarahan maemubah. Ibu tirimu, seperti
pegunungan yang jauh
fatamorgana. Biarkan airmata tumpah ruah
di rok baju yang dibeli bapakmu Sarkawi

Matahari mulai mengusir dingin embun
hidupmu jadi kenangan. Irama tarling mengalun
telah nyata, Kang. Namun
kita belum berbuat apa-apa, meski
telah mandi. Bau cat dan kain baju yang rusak
adikmu ini Saeni, mencari dan terus mencari
masa kecilmu yang hilang. Ditelan ganasnya
tatar Pantura
yang lengang.

2001



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
KISER KESUNYIAN

Percayalah pada diri ini. semua yang dibenamkan
Maemunah, lewat nama jelekmu. di sudut jalan
merasa bangga Saedah dan Saeni meronggeng
padahal kami minder
jadi artis sepanjang zaman. kegilaan ini
kalau terus kau biarkan keliaran ibu tirimu,
demikian edan,
jalan ke surga makin jauh dan otak kita pun
pecahpecah membuncah ke putaran tujuan
yang makin keblinger.

2001
















Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
ODE MATAHARI
Kusambangi peristirahatan terakhirmu di bawah vikus binyaminka yang rindang, bungabunga pualam mengitari altarmu. Matahariku. pusara tanpa jendela
enggan kulawan kesejukan kotamu di antara pendoa,
tak ada habishabisnya airmata dari orangorang yang datang tanpa meninggalkan alamat. batu marmer hitam saksikan wewangian dari 1000 ketulusan yang dialirkan hati khusu. pagi itu kucatat kelahiranmu. kalau saja masih berkuasa, bung, pasti tersenyum, menyaksikan negeri yang kau ukir dengan pahat kemerdekaan ini, menapaki langkahmu. bahkan saat menyambut harimu, dengan spanduk, renungan suci, pekik merdeka! Putra Sang Fajar. telah lahirkan jiwa raga ke wilayah aneka cuaca. sampai aku bersimpuh di kuburmu, hanya bisa menunduk. dihari kelahiran, belum datang kesadaran persatuan yang kau ajarkan lewat pidato, tulisan, lukisan, bisikan bahkan api kemarahanmu itu. siapa sebenarnya nasionalis religius itu? siapa religius nasionalis itu? kalau bukan anakanakmu, yang kini mewarisi realitas batubatu butiran airmata, sejarah bisu. wahai matahari yang beranak pinak, tunggu aku, kusudahi khaul ini. sampai kemudian kutemukan buktibukti permainan dadu dari lawan dan kawan,yang telah membenamkan namamu di sudut sejarah yang diburamkan zaman.
2001



Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
DUKA LARA DURSASANA

Kutukan itu, duka lara bagi Dursasana karena Bima melihat biungnya, Drupadi bersumpah mengeramas rambutnya dengan darah. hadiah itu memberi poin untuk pelecehannya ia penggal kepalanya. terbukti dipertempuran seru di padang kuru. Dursasana terbaring kaku, kepalanya terpisah, darahnya dimakan serapah siapa mau berkalang tanah. menyerah di bawah hujan palu godam, dan seribu panah mengincar maut. namun aku belum takut kalut untuk mati, anakku. perang, membuka tabir selimut hati, lepas tali sejarah, jiwa yang pasrah, tersenyumlah biar gagal memerdekakan raja di kerajaan cinta. emosi diri dan absurditas masyarakat istana itu, hanya ada pada seorang pangeran yang kesepian. mengukur ketebalan tembok kamarnya.
akankah kita biarkan mereka terus bermain dadu?
menenggak ciu, sampai mabuk dan kemenangan
yang diperolehnya dengan darah rakyat. serta senjatanya itu, kutahu, bisa rapuh oleh palu dahsyat perseteruan antara kita yang hanya mampu mencipta kehancuran. lalu kapan kita kembali ke pekuburan.

2001


Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
MEMBACA MALAM

Sura lengking gasing. goreskan luka
lengan, tangis rakyat terasing, ditepis
habis bergelas anggur, kehidupanmu
seruling dengan irama keperihan seperti ini,
jengkrik, kelabang, orongorong dan kecoa
meraung bingung mencaricari cahaya

Gelap dini hari menyadarkan kesendirianku
duka para pertapa, terpatri di wisik angin
duhai laut, berbayang bisu, usir gamang
disaat kubaca kitab ini, tanpa merubah diri
jadi batubatu artefak yang beku
rindukan waktu untuk terus berpacu

Membaca malam sampai mata berlinang
selalu mengingatmu, hilang berkubang
di tanah lapang, penuh ritih kelabang.

2001.







Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
ODE NELAYAN
Siapa menginap direlung malam. sampai pagi
membakar dadamu. matahari tak lagi berkedip
cahaya garamnya membentuk tangan kaku. bau Lumpur memendam perjalanan hidup, hingga laut pasang, kaki mengangkang, tangan sedekap, ditelikung suara mesin diesel yang bergetar. sepanjang malam, kudengar cerita tentang perahu, misteri yang dikaramkan laut utara. Pulau Jawa, jadi muara cintamu, impian nelayan. hidup-mati, tak pedulikan hutan bakau dan tambak udang bukan berarti senja mudah jadi uang, sampai angin malam gelisah. debur ombak gaduhkan suara kepak manyar di pucuk cemara. ranggas daun trembesi, langit luas. menyaksikan anakanak bermain gebrag slodor, di bawah purnama. anak perempuan kita bernyanyi: menjadi sintren, sinden tarling, goyang dongbret,berokan, “mabok bae!”,
Menakuti kekuatan hitam tiga generasi dikeremangan desah nafas nakal, mengajakku jadi kerbau. diseret ke perahu untuk berlabuh. aku iseng mengejar satwa pantai tak bernama. lalu kubiarkan burungburung hinggap di menara perahu tak berbendera sedang aku yang kini berkubang dalam lumpur sungaimu, cuma diam meneguk kesepian. sepanjang Pantura gubukgubuk atap rumbia. rumah kita laut pecinta.
2001.

Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

ANAK LAUT

Bermainlah terus anakku, sepanjang sungai, hingga sampai menuju muara. berebut melempar kepala mangrouf di lumpur garam. amis tubuh, ikanikan letih
dan bau karat angin, laut

Mengantarkan anakanak bermain gundu, dari tiram,
umangumang yang terpelintir dahaga dan kelaparan
“tak ada lagi perahu bagi bapak yang rindu melaut”
ujar seorang anak menatapi muara yang lengang
matanya kosong mengawang gelombang
perutnya bolongbolong. jemari mereka bergerak cepat saat melipat kertas bungkus kacang yang kopong sampai sudah, kau sisihkan uburubur, diajak
ekstase ke negeri yang jauh perahuperahu kertas pun meluncur dari tangannya. sepuluh, seratus sampai
seribu lebih dua hari angannya meliar. diantara hijauan rumput laut, benur bandeng menyisir samudera, bianglala dunia maritimku. tarian cakalang, senandung tengiri dan puisi cumicumi, tak ada lagi rasa dengki menjadi pengecut yang kecut sampai angin tibatiba datar. perasaan anak mengalir ke hilir. laut dalam. istana mutiara menghuni tiramtiram seteguk kelapa lepaskan dahaganya. kesadaran bersama “esok, bukanlah impian,” bisik asanya yang karam.

2001

Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SULUK RINEKSO

“ono kidung rinekso ing wengi teguh ayu lupoto
bilai kabeh jin setan datan purun peneluhan tan ono
wani.......”

Dan sekujur badanku bergetar atas peristiwa demi
peristiwa yang diisyaratkan selang sebulan, usai tarian wedus gembel. di puncakmu. Merapi, ku tau baru ada tanda atas cahaya kemurnianmu yang mendekapkan imaji juga masa lalu yang buram. selalu kidung itu berkumandang saat pini sepuh mengkhawatirkan riwayat generasi dan artefak yang hilang. sejak Majapahit, menuju Mataram, Demak, dan kembali Mataram mengulangulang sejarah yang buram.juga di sela kemenyan dan wewangen disekujur kerismu Yogyakarta, telah memberikan garisgaris untuk menyekatmu seperti yang dimitoskan tembok dan batu bata. Mengungkap misteri tentang hilangnya blangkon sang sultan. Atau ketakjuban atas trah yang kini tak lagi dimaafkan. memang cuma kidung. tak bisa hentikan mendung sampai hujan airmata di beranda nusantaraku. Dipenuhi raung histeria atas nasib, dan juga kehidupan. maka dari
retak bumi dan altar sajadahmu Yogyakarta, kami ikuti irama batin bunda pertiwi, untuk bersama peduli pada jasadjasad yang masih merintih di pondok putih, pada jasad yang diperjuangkan para malaikat, pada
nyawa yang masih milik Tuhanmu. pada Allah yang baru saja memberimu peringatan. ini kidung serasa gumam, tapi sanubari tak bisa dipendam Ini. sulukku untuk kotamu yang poranda, Yogyakarta. kapan kita melayat? menonton, atau peduli untuk mereka yang jadi tumbal keangkaramurkaan.

2006

























Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

SULUK GERHANA

“sun mbesuk maria ngeman yen wonten gerhanane sasi
srengenge kembar lima lintang alit gumelareng siti
sedaya tan ana urip. matia munggah suwarga
neraka sungkan leboni duh .... mbenjang belah ning
akhireng zaman isun kelawan sampeyan....” (sinom)

Kematian demi kematian adalah peristiwa keseharian
hilangnya kasih sayang adalah jawaban atas gerhanamu. lalu bumi yang bilurbilur, jadi lahan impian penuh capaian atas kalah dan menang. sementara siapa pemilik nyawanyawa ini sedang peristiwa demi peristiwa telah dibentang beribu tahun dan waktumu. lalu berhenti detak nadimu, hanya untuk memaknai kematian. atau sekedar memberi persoalan hidup. seribu nyawa melayang, tanpa
kasih sayang. itu KunNya Allah. lalu siapa pemilik
surgaMu itu. benarkah untuk kami yang tiap detik
menangis. di lautan sajadahmu yang panjang. Atau
inikah nerakaMu itu. setiap detik mencengkeram rasa
takut, tumbuhkan kekalutan, dibelenggu nafsu kami,
seperti untaian tasbih. ibadah tak berketulusan. Lalu
kemana, kemana hendak kita labuhkan, zikirzikir
peribadatan bumi ini. sementara antara kita tak ada lagi jarak yang terpisah, selain nafsu juga ketamakan. Atas ketaksabaran memaknai setiap kali isyarat dan peringatanMu. benarkah kita bisa saling temu
menyoal hayat, kematian dan kematian. Padahal
peristiwa ini misterimu. semata hadiah bagi kita yang
gersang, untuk terus bersembahyang lewat tarikan nafas
La...illa...Ha...illallah....... lewat shalawat ini,
sembahyangku, lautan. penuh bulu, dan kapas. Sesak
rasa kepedulian, sesak diantara para penderma. ‘ku
yakini untuk mengerti. peristiwa demi peristiwa, tak Cuma
sekedar jadi catatan buram dikorankoran .

2006





















Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

PUSARA PASIR

Aku menemukan kotamu yang hilang ditelan rerumputan, saat kusemai altar bumi dengan sembahyangku, ilalang dan jelaga berjarum. bau tanah merekah, meneriakkan emosi gasing dan dengung ramarama di atas kulit bumimu. udara kota pun berubah sekejap. hari itu, seisi alam sedang sekarat tak beri kesempatan untuk kami berkelebat. melewati malammalam dingin. skala reigter terpasang di kaki bukit. orangorang semedi di semak gunung, meneriakkan katakata, doa, tak ada suara yang keluar selain erang kesakitan dan ketakutan. kalut bumi sakaratul mautMu. bau tanah merekah. anyir darah. mengucur dari kening ibu. anakanak tak berdosa itu seperti bantaran pasir di parangtritis, berpindah tak tentu arah. dari mana kau datang, kemana kau pergi kita lupa siapa diri, siapa? kita memang tak punya siapasiapa. Kini di antara nyawa yang membumi menelan waktumu mengira separuh akhir perjalanan yang diskenariokan zaman. lalu pusarapusara tanpa nama itu menyisakan wangi, dupa dan kemenyan. bulu kudukku berdiri seperti
dipaku antara ribuan nyawa yang terpasung oleh
ketakberdayaan. Tuhan, inikah langgamMu yang mesti kujadikan kidung, sampai sulukku menyembahyangi tiap nyawa yang diguratkan elemenelemen kerak bumi. 2006

Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

GERHANA BUMI , 2

Sesudah peringatan ditulis ayatayat tuhan, dimaknai
olehmu dengan secarik catatan. wajahwajah terukir
di atas bumiMu mengisyaratkan sebuah perintah atau
perihal laku lampah. sekali diabaikan. Al-Fil. Bukan
peristiwa jadian. sebagaimana matahari menelan
semesta bulan atau bulan menyelimuti nur mentari, dan bumi yang kita pijak, punya nafsu angkara. Manakala cahaya bulan dan matahari mulai jadi santapan, keseharian. dimana manusia mulai menjadi pemangsa kaum di antaranya. dimana hawa nafsu jadi raja atas segalanya. mencatat cahaya maha cahaya yang hendak dicapainya ditaklukkan hanya sebatas nikmat sesaat. inilah gerhana itu. atas bumi. menelan seisinya hingga setiap lapisnya mengusai langitmu, merubah wajahwajah jadi aneka peristiwa. inilah sembahyangmu yang takjub. doadoamu yang berharap dimakbulkan, hingga setiap ayat di bibirmu adalah harapan. seperti bumi, langit dan seisinya menyembah Allah. Hu.... Allah.... tiap detik peribadatan membuahkan teror atas beribu kematian
sekejap netra. penuh airmata, tangis bercahaya. Ulahmu rindu Tuhan. setiap hari tanpa kepasrahan. padahal kita butuh ketulusan atas kesadaran langit, atas kesadaran matahari atas kesadaran rembulan atas kesadaran bumi juga atas kesadaran hatimu yang mustinya membumi.
2006


Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

KASIDAH TANGAN BERSEDEKAP

Biarkan pagi melepas selimut dengan subuhmu, penuh lumut dan dingin embun. Bergegas burungburung mensucikan diri di pematang. Begitu bening, berlembar daun kearifan teranyam jadi sajadah. Memanjang sepanjang hari. Hingga siang kusembahyangi tangan dan kedua kaki. Tak banyak matahari dalam redupan mata, lidah pun kelu. Kutenggelamkan hati hingga hanya lafadnya yang kusebut. Pada tiap tetes darah waktu seiring sore perjalanan tangantangan peribadatan kukuatkan hati untuk melawan dan menekan aku. Lalu kumainkan jarijari tanpa hitungan melepas angkaangka yang bersedekap membentuk kalimah agung. Begitu sejuk, namun bisu. Marilah, malam ini kita jalani sebagai
perahu kendaraan kita. Untuk melayari kewisikan
doadoa dan zikir panjang ini. Kita daratkan tangantangan untuk terus bersedekap dalam komunikasi sunyi. Lalu menyatu dalam kasidah yang panjang.

2006





Nurochman Sudibyo YS.

SAJAK SECANGKIR AIR

Ingatlah siapa sadar tak akan samar. baru dengar, tak
cuma di dengar. dapat memandang setelah nafsu
terbuang. merasakan hati jabangbayi menyatu ke bisik sunyi, melangkah hening sebening bebatuan, di sungai ingatan nafas cuma senafas. mengingatmu ya Allah semua siapa yang punya. apa bisa kita rampok dunia, dengan secangkir air. Yang hidup dan berfikir, berlaku sabar membunuh keinginan seluruh. agar terlaksana tujuan segala. itulah nafsu hijau yang ditahantahan, yang merah menyalanyala. adanya diri dirasaMu, rasa ingsun. Sun ada rasa pun ada. membangun manunggaling diri, menyatu padu dalam subuh. sebaikbaik waktu muka pun dibasuh. Dhuhur, berkumpulnya keempat saudara hati bercampur. Asyar, yang membuat langkah diri tak tersasar. Magrib, waktunya untuk mengingat Allah dan koribNya. Isya, mengingatkan kita lahir tak bawa apaapa. inilah kasidah batin, ibadah kita bersama. Menggauli waktu bersama daundaun. Hijau, hawa dingin pagi nan sejuk. membuka perjalanan, mewarnai lagit biru membaru. Menaburkan ingatan. untuk selalu bertemu kembali. Secangkir air, ada tempat dan airnya. Mengingat Allah, dhohir dan batinnya.

2006




Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
KASIDAH JALANAN

Dulu gelap, gulita kini. melihat alot, mata melotot
mencaricari rumah hatinya. melihat teman, datang syirik,
badan sekujur membusik. tak ada bedanya, punya mata
tak ada mata. zaman hitam kelam. tersekap kala tiba
waktunya. hidayah tak bisa terpisah. diterka datangnya
kapan pun datangnya, ia inginkan tak ada
keluh kesah, alam terang hatinya bening, melangkah tak
meraba sayang, sembahyangku rumput sehalaman
bunga tujuh rupa dan juada pasarnya. tikar pandan
melengkapi sajadahnya. ngajiku ngaji batin. Mata
terpejam jari memetik berbiji lintang. terhitung di tangan
berbilah kata mengucap asmamu,
jari berbilang. inilah jalanmu. perjalanan dilewati, tahu
lewatnya pulang tahu tempat tinggalnya. nafsumu nafsu
ingsung. keberadaanmu jatinya diri, jadilah badan satu
menyatu. manunggal berdua, menyatu satu. apa
yang di kata berhatihatilah. menjadi satu, bukanlah batu
apa yang dikatakannya jangan suka sembarang. Inilah
jalan pertemuan, enak untuk jalanjalan
di alam penuh kematian. Main musik sepanjang jalan.

2006







Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA
PEREMPUAN MERAH
Bagi : Sayidin SR

ku masuki irama garis-garis nasibmu, bersama ketajaman palet yang mengerang. Lukisanmu, kilatan kanvas dan selendang. Seperti membuat dunia hinggarbingar bertabur bunga-bunga dan pasar uang. Kumasuki wajah gadis-gadis dan lekuk gemulai tariannya. Warna cat dikomposisi Perempuan merah. Aku ingin membahana di situ
Menyadar di singasana lakulampah, tanpa serapah

Dan derita seseorang juga suara ibu yang terus berkata-kata. Membua tubuhku limbung dibuai debur ombak dan suara perkusi yang bertalu-talu. Namun semua nada telah berdiri kaku. Jadi pusara yang membeku. Sekali lagi wajah perempuan itu memerah, berambut merah, bergaun merah, bergurat amarah yang menuturkan permainan angin dan elusan lembut di jelitamu, perempuan dan mata pedesaan yang memimpikan kota juga seribu kata-kata berwacana tua. Selagi masih ada shampoo yang dikeramaskan di kepalamu. Rambut-rambut perempuan itu berderai menghujani imajinasiku. Lalu aku berhayal tentang kerapuhan desa membaca kota. Tak lagi kubiarkan tarian gemulai anak-anak perawan menghias bunga di selipan telingamu yang seksi.

2007

Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

PEREMPUAN HIJAU

Perempuan dengan lumut di lutut, menyusun daun-daun cemara di puncak gunung. Gaun hijaunya seperti menampar keperihan harga-harga pupuk. Tapi mereka terus menanam pohon-pohon mangga di dadanya. Seperti petani yang kehilangan romantisme pesemaian.

Sebagai ibu, nya yang terus berkata-kata. Tubuhku limbung dibuai debur ombak dan suara perkusi yang bertalu-talu. Namun semua nada telah berdiri kaku. Jadi pusara yang membeku. Sekali lagi wajah perempuan itu memerah, berambut merah, bergaun merah, bergurat amarah yang menuturkan permainan angin dan elusan lembut di jelitamu, perempuan dan mata pedesaan yang memimpikan kota juga seribu kata-kata berwacana tua. Selagi masih ada shampoo yang dikeramaskan di kepalamu. Rambut-rambut perempuan itu berderai menghujani imajinasiku. Lalu aku berhayal tentang kerapuhan desa membaca kota. Tak lagi kubiarkan tarian gemulai anak-anak perawan menghias bunga di selipan telingamu yang seksi.

2007





Nurochman Sudibyo YS. Antologi GERHANA

PEREMPUAN DAN
BELATI DI MULUTNYA

Perempuan dan belati di mulutnya, seperti memberi tanda tanya. Dua nyawa rebah berselimut. Tut-tut hend phond bertarung dengan detak jatung. Suara sirine dikejauhan meraung-raung

Mengarang derita sebab rangkaian suara ibunya yang terus berkata-kata. Tubuhmu limbung dibuai debur ombak pantura yang ganas dan suara perkusi jalanan bertalu-talu. Semua nada mencatat di kertas kaku. Kau buat pusara kuburmu.

2007

0 komentar:

Posting Komentar

 
Gurit Dermayon © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum