Cerpen : Nurochman S. YS

Jumat, 02 Oktober 2009

SETORRAI

Cerpen : Nurochman Sudibyo. YS

Ribuan perahu hilir mudik di muara. Di sandaran dermaga yang ramai, orang-orang sibuk mengasah pedang. Mereka seperti akan berperang. Tapi wajahnya cukup ditonjolkan dengan riang. Entah apa yang sedang mereka persiapkan. Kabarnya hanya karena perintah seorang yang pandai bersilat lidah. Sungguh telah memberi pengaruh yang cukup meriah.

Masyarakat pesisir Cipelem memang terbiasa dengan tradisi engkeg. Yang penting bisa tampil beda. Wajah yang pas-pasan tak jadi kendala, yang penting berani berhutang, bicaranya pun pasti lantang. Urusan perang itu belakangan. Hal ini pula yang menyebabkan mereka mudah diajak kompak. Bagaimana tidak, Hanya soal isyu ada tokoh besar panutannya yang bakal menggelar acara gedean (tayuban) di kadipaten luar provinsi saja, telah menimbulkan dampak alamiah yang amat dahsyat.

Entah siapa yang memulai. Yang pasti seminggu sebelum kemudian acara pesta para penggede itu digelar, seluruh masyarakat pesisir Cipelem kontan bersiap-siap untuk datang dalam acara maha akbar tersebut. Dimulai dari menghias perahu, menjahit jubah, bahkan memperbaiki mesin, bagi yang punya perahu. Ada juga yang rental kapal besar. Bahkan untuk tidak menumbuhkan pemikiran negative dan larangan dari penggede yang bakal kaget atas kehadiran mereka, kaum bawah itu, membuat seribu alasan. Bagi mereka tipa-tipu pun diciptakan untuk kegiatan bertema plesiran namanya saja Wong Pedesan.

Salah seorang pemrakarsa mengusulkan agar seminggu sebelum pelaksanaan kegiatan dilakukan tour keliling pejaratan yang berakhir di alun-alun Kraton Gedhe Aula Panditha. Ada juga yang menyelenggarakan rapat bulanan di Kota Gori (Sebelah Kota Ghede), dengan puncak acara hadir di pagelaran Tayuban Kanjeng Adipati. Bahkan ibu-ibu Persatuan Perempuan Ngiteng, siap melaksanakan pembukaan arisan perdana, juga di kota tersebut. Sungguh sebuah perhelatan yang tak terbayangkan meriahnya.
*
“Setorrai! Setorrai! Rayi tidak usah ikut! Cukup kakanda saja yang sowan ke Gusti Kanjeng Sinuhun. Rayi tinggal saja di padepokan. Kamu kan tak bisa goyang dangdut!” ujar Raighedeg kepada adiknya.

“Ah.... kakanda kok mengecilkan saya. Untuk urusan Goyang, itu sih soal gampang. Apalagi di sana momennya bukan hendak mengangkat seni tradisi adiluhung yang kita miliki. Biar saja kang. Aku pun tahu, di sana mau dipergelarkan Tayuban versi jaipong dangdut, Aku tahu Mas, nuansanya kental dengan politik pemerintahan provinsi kelak!” jawab Setorrai.

“Wah,wah...wah. Kamu ini ngarti apa Dik? Jangan Su’udon. Nggak Baik! Saru itu! Kanjeng Adipati mau menggelar acara itu memang untuk semua kalangan. Tapi ya itu, terbatas yang punya peranan penting di negeri ini. Termasuk Kakakmu ini. Aku Si Raighedeg yang punya peranan di Kantor Tata Tentrem Budaya Ayem, ini Rayi.”

“Lho Kakang ini lupa ya? Masyak Kakang ngak tau kalau disana bakal digelar kesenian Tayuban Gaya Jepang dengan lirik pegunungan. Ini nggak asli Kang! Ini bakal merusak citra kakang sebagai tokoh penting pemuja karya adiluhung. Semestinya kakang kalau nggak berani merubah rencana itu ya bawa aku Si Setorrai. Aku ini pasti akan datang dengan serempak. Bersama ribuan pengikutku bakal ikut mewarnai suasana disana. Kan jadi bertambah tradisional (ndeso gitu lho). Artinya kalau memang seleranya bergaya pegunungan, kalau yang banyak kumpul warga kita kaum pesisiran, kan jadinya... terlihat asli, dari sini kang pandanganmu!” jelas Setorrai meyakinkan kakaknya.

“Oke.....oke! baiklah kalau maumu begitu. Tapi aku ngak menyuruh dan sama sekali tidak menganjurkan kalian berduyun-duyun ke sana. Aku minta kamu atur peristiwa di sana seolah-olah tidak direncanakan. Artinya itu merupakan peristiwa alamiah. Dimana semua itu dimaklumi sebagai kemauan masyarkat yang sangat mencintai beliau. Dan, memang tak bisa dicegah.”

“Maksud kakang cinta kaum pesisir yang tak tertahankan, begitu?”
“ Yah....seperti itulah kira-kira.”
*
Sehari sebelum pesta dilaksanakan di Kota Gedhe, seluruh losmen, dan rumah penginapan diborong habis oleh warga Muara Cipelem. Kota yang biasanya ramai dengan turis Landa itu kini dipenuhi turis dadakan. Bahkan warga Kota Gedhe yang biasanya ramah dengan blangkon tak pelak dijubeli oleh orang-orang membawa pedang. Dengan wajah sangar dan tangan menenteng gepokan uang. Mereka borong cinderamata Kota Gedhe dengan alasan untuk buah tangan saat mereka pulang ke desa. Pemandangan ini tak beda dengan suasana pasaran di pinggir tanggul Bedahan.

Benar saja Setorrai membuktikan omongannya. Melihat ulah adik nya itu Raighedeg pun manggut-manggut kegirangan. Adiknya memang bukan termasuk pentolan Kadipaten Cipelem. Tapi untuk urusan menggerakan massa, dan mempengaruhi massa dia memang patut diacungi jempol.
“Edhan tenan, adikku Si Setorrai. Kota Gedhe telah di penuhi dengan para penjilat kelas teri. Aku harus pandai menutupi pengaruhnya.Ini bukan keinginanku. Ini digerakan oleh kecintaan mereka. Ini jelas pribadi yang luar biasa!” Gerutu Raighedeg disaat menyiapkan acara pagelaran akbar beselera Politika Budaya Wong Agung.

“Kawan-kawan seperjuangan. Di Kota Gedhe ini kalian bukan lagi tamu yang harus dihormat-hormati. Angap saja ini rumahmu. Belanjakan seluruh uangmu. Jangan kaget karna menu di sini serba manis. Di sini tak akan kalian temui Rumbah Semanggen. Di kota ini tak ada krupuk sambel. Apalagi Sega Lengko! Kalian harus makan Nasi Kucing dan Jangan Gori.” tutur Setorrai di hadapan ratusan tokoh masyarakat yang mengikuti ajakan Setorrai ke Kota Ghede.
“Siap, Kang Seto! Kami akan turuti apa yang kau mau. Bagaimana dengan perahu, sarung yang kami pakai dan dayung yang kami tengteng ini kami sandarkan?” tanya salah seorang warga berkostum monyet dengan ekor panjang.

“Bodoh! Kamu tanggalkan saja di sungai. Perahu kalian tak akan bisa menyebrangi alun-alun, apalagi masuk ke gedung pertunjukan dimana kanjeng adipati merayakan acara kenegaraannya. Ingat gunakan kendaraan becak. Hanya itu yang bisa bolak-balik di jalan utama selain kereta kencana milik tamu-tamu agung yang parkir di halaman gedung Bedoyo Kawi itu,” jawab Setorrai dengan lantang.

Seperti kerbau dicocok hidung, para pengikut Setorrai pun kemudian berbondong-bondong menuju bangunan tua yang telah ditata dengan hiasan indah. Mereka ternyata berhasil mewarnai seluruh isi gedung pertunjukan dimana keluarga besar Kanjeng Gusti Adipati Laksa Lupha mengadakan pesta keluarga besar-besaran bersama kerabat istana dan tamu manca negara.

Benar saja apa yang dikatakan Setorrai. Kanjeng Adipati menyelenggarakan Pesta Agung ini kental dengan nuansa politik. Pandainya semua ornamen kegiatannya dibungkus dengan unsur seni dan budaya. Lihat saja tarian pembukaannya pun bukan Kedok Udeng, tapi Topeng Menyon dibungkus sponsor sheep.

Cinderamatanya tidak berdisain Batik Canting Cemplongan, melainkan pring koprek gaya pegunungan. Begitu juga upacara adatnya tidak pake Kidung Kiser Pesisiran, ia malah pakai Kawih Jaipong Ngebor Abish. Ini jelas Lirik Gunung Paket Jadi untuk berpasangan. Soalnya Kanjeng Adipati Laksa Lupha serius pengen dipaket hemat ke arah puncak kariernya mencapai kekuasaan yang paripurna.
*
“Hay, Tumenggung RaiGhedeg, Itu rombongan apa? Kok malah memadati acaraku! Kamu jelas-jelas tidak memenuhi aturanku. Kamu tak beretika! Ini acara berkelas. Kenapa kamu ajak masyarakat kelas adikmu yang ngaku jawara itu kemari!. Ini, sungguh memalukan. Aku bakal kehilangan muka. Ini momen penting Gedheg, untuk karierku di mata masyarakat Sunda Ageng. Suruh Adikmu itu menarik orang-orangnya berkumpul di luar gedung saja! Atau ajak sana jalan-jalan ke Malkomodor. Nih, duitnya bagikan semua. (baginda menyerahkan sekarung uang). Mereka lebih tepat diajak berbelanja dari pada numplek di sini semua!” Pinta Kanjeng Adipati.
“Maaf, Kanjeng Adipati. Ini diluar prosedur yang telah diatur sebelumnya. Adikku Setorrai tidak bisa disalahkan begitu saja. Ia bersama rombongan yang patuh dengan aturannya semata karena kecintaan mereka pada Panjenengan Kanjeng Adipati. Mereka semua berduyun-duyun kesini karena diajak oleh Setorrai. Mereka iklas patungan, urunan dan nyumbang tenaga siap jiwa raga untuk menyemarakkan kebesaran kekuasaan yang sedang paduka emban,” Tutur Raighedeg.

“Och, begitu. Tapi semestinya kan bisa dilakukan dengan bikin pesta berikutnya di Pendapa kita. Kenapa jauh-jauh kemari meninggalkan wilayah kepemilikan kita yang kaya raya! Kan jadi rapuh kalau nanti tiba-tiba kursiku ada yang nyuri, misalnya! Tapi, ya sudah. Suruh perwakilannya saja yang masuk ke ruang pagelaran. Ini agar pestaku tidak semrawut nggak nggenah!” tegas Adipati LakSa Lupa.
“Baik Kanjeng Gusti. Akan kuperintahkan mereka mundur dengan teratur.” Jawab Raighedeg malu.
“Seto....! Seto...... Hai Setorrai! Suruh semua pasukanmu mundur dari dalam gedung ini. Kanjeng tak mengijinkan kalian masuk!”

“Tidak, Kanda! Aku Setorrai tak akan menyerah. Kami harus bertemu kanjeng adipati. Setidaknya memberi selamat padanya atas pesta yang beliau adakan! Aku akan tetap menjamin mereka masuk dengan aman. Sebab mereka datang ke sini sudah habis-habisan“ jawab Setorrai menantang kakaknya.

“Seto! Kamu ini kurang ajar sekali. Aku ini kakakmu. Apa kamu mau melawan?”
“Maaf Kak. Komitmen kita kakak itu di Kadipaten Cipelem. Di sini aku sudah terdaftar sebagai tamu Sultan. Tadi pagi Sultan telah mempersilahkan kita. Yang jelas kami ini penuh dengan seragam dan siap jabat tangan. Apa salah kalau kami mengucapkan selamat berbahagia untuk keluarga Kanjeng Adipati yang paling kami hormati? Jangan sok kuasa, Kang! Kau tak akan mampu melawan kekuatan kami yang tak tertahankan!” lawan Seto pada kaknya.
Benar saja lima menit kemudian ribuan massa berpakaian Kunir Bosok, dengan bendera berkibaran dan spanduk ucapan: Selamat Berjuang Baginda Adipati!” merekia bergerak menyerbu masuk ke Gedung Budaya Kota Ghede.

Serentak itu juga ratusan tamu agung yang datang dengan kereta kencana tersisih ke pinggir tembok. Rombongan tak membawa kartu undangan resmi ini meskipun bermodal yel-yel Baginda Adipati yang sedang Jadi pusat kehormatan, tetap saja ditahan oleh kekuatan Praja Senior yang sengaja didatangkan lebih awal. Dengan sigap, dan gaya almamater pendidikan yang berwibawa mereka lakukan antisipasi, dengan mata mengancam dan siap pukulan juga tendangan. Mereka berusaha keras menghalangi massa yang tumpah ke ruang makan.
Ditahan begitu, kontan saja massa malah tambah beringas. Beberapa meja dengan tumpukan gelas yang telah ditata indah terdorong keras. Meja pun roboh, ratusan gelas pecah, airnya pun tumpah ruah. Suara gelas pecah menanbah riuh seisi gedung. Deretan masyarakat yang antri memberikan ucapan sukses, semakinpanjang hingga ke seberang lapang dan jalan utama memasuki area keraton. Ini sungguh luar biasa. Meskipun muncul insiden banjir pecahan gelas dan hilangnya air minum, tak membuat antrian bertambah kurang. Hingga sore hingga menjelang malam antrian undangan tak juga berhenti.

Di luar Alun-alun Setorrai dengan bangga menceritakan keberhasilannya pada orang-orang yang masih setia ngantri. Ia merasa telah berhasil memberikan senyuman penuh makna pada kanjeng adipati Laksa Lupha.

“Ingat saudara-saudara, jangan sampai kalian lupa menyebutkan nama dan keinginan kalian kedepan untuk jadi orang penting di Cipelem. Cipelem itu daerah kita sendiri. Wajar toh kalau kita punya hak menduduki kursi empuk jajaran pemerintahan yang kita agungkan sesuai dengan kepiawaian yang kita miliki. Ingat Jasa yang kita upayakan juga harus dikatakan. Jangan sampai beliau lali. Maklum beliau Penggede yang sangat sibuk dengan berbagai pekerjaan dan cita-citanya yang besar. Kalau kalian tidak meneriakkan keinginan kalian, Maka tempat yang kalian inginkan akan diduduki oleh pembisiknya saja yang paling dekat. Mereka bukan orang Cipelem. Tapi Bisikannya bikin Kanjeng merem-merem! Ha...ha....ha...” pidato Setorrai berapi-api dan membangunkan semangat para pengantri yang tetap bertahan seperti semut yang berbaris hendak memungut sisa makanan.

Nun di dalam Gedung tak pernah terpikirkan oleh Seto. Jika pengaruh Setorrai inilah yang membuat suasana pesta dipenuhi teriakan pengakuan jasa dan keinginan jabatan, plus kesiapan kontak politik yang ditawarkan. Melihat tamu yang banyak lebih mengutamakan kehendak ketimbang ketulusan, Kanjeng pun mendadak pinsan. Dalam tak sadar ia bermimpi naik kuda renggong menuju pintu kedua Kedai Sate Kota Bandang yanmg diagung-agungkan.***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Gurit Dermayon © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum