Jumat, 02 Oktober 2009

Nurochman Sudibyo YS.

ODE PUTRA SANG FAJAR

kusambangi peristirahatan terakhirmu
di bawah vikus binyaminka yang rindang, bunga-bunga pualam.
mengitari altarmu matahariku, pusara tanpa jendela

eggan kulawan kesejukan kotamu
diantara para pendoa, tak ada habis-habisnya
airmata dari orang-orang yang datang
tanpa meninggalkan alamat. Batu marmer hitam
saksikan wewangian dari 1000 ketulusan
yang dialirkan dengan hati khusu. Pagi itu

kucatat kelahiranmu. Kalau saja masih berkuasa,
bung akan tersenyum, menyaksikan negeri
yang pernah kau ukir dengan pahat kemerdekaan ini,
enggan menapaki langkahmu. Bahkan saat menyambut
harimu, cuma dengan spanduk. Renungan suci,
pekik merdeka Putra Sang Fajar
telah lahirkan jiwa raga ke wilayah aneka cuaca
sampai aku kini bersimpuh di kubur batumu,
hanya bisa menunduk di hari kelahiran, belum datang
kesadaran akan persatuan yang kau ajarkan lewat pidato,
tulisan, lukisan, bisikan bahkan api kemarahanmu itu
siapa sebenarnya nasionalis yang religius itu?
siapa religius yang nasionalis itu?
kalau bukan anak-anakmu, yang kini diwarisi realitas
batu-batu dari butiran airmata, sepanjang sejarah bisu. Wahai
matahari yang beranak pinak, tunggu aku sudahi duhulu
khaul ini. Sampai kemudian kutemukan bukti-bukti
permainan dadu dari lawan dan kawan,
yang telah membenamkan namamu di sudut sejarah
yang diburamkan oleh zaman edan.

Blitar, Juni 2001

0 komentar:

Posting Komentar

 
Gurit Dermayon © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum