Lisus di Padang Kurusetra

Minggu, 30 Januari 2011

Kita berusaha lepas dari gulungan angin, di antara jutaan panah yang tumpah
diri berbagi seperti seorang perwira Astina bersemangat menang perang
debu beterbangan menebarkan amis darah juga teriakan dan jerit panjang
hanya surup matahari pembatas waktu, tapi hati terus berlaga
malam masih berkemulkan angin dan debu peperangan yang tak berkesudahan
sulit menentukan mana nilai-nilai yang selama ini dipertaruhkan
siap membunuh, atau dibunuh. Tak ada waktu untuk menakar jarak

Lihatlah ke atas langit. Angin lisus kembali datang, tak diundang
laksana prajurit pilihan yang sengaja dipermainkan jadi bidak catur
peperangan, harga diri, inovasi tiada henti. Sulit untuk disebut korupsi
tapi angin lisus, topan, dan badai yang datang dari tengah lautan emosi
semakin membungkus dengan alus setiap elusan bagus setiap strategi
datang mengatur posisi, maju terys mengumbar orasi, membuncah takkan pecah
didukung tiap lapisan penyangga, bertopeng, kuda tunggangan dan tameng baja
tak ada desas-desus, penundaan serangan apalagi pertimbangan
setiap langkah sudah menghitung angka kemenangan. Sekali lagi
ini perang di padang kurusetra dimana keberlangsungan negeri taruhannya

Lisus, tak lagi bisa ditunda datang dan perginya. Ia hadir sebagai musuh
dan barisan muda melihat kekotoran di manamana. Risih juga rasanya
seperti berperang menghadap ke cermin. Ruang dan dinding bercermin
bergelut dengan lisus yang halus tapi terus mendengus
laksana anjing kudisan ia virus yang akan terus menularkan jutaan bakteri
penghancur. Tak ada pertimbangan, perang terus dilanjutkan
kita masih punya bermilyar vaksin kebaikan, jangan lengah saat dibalikkan

Jangan aneh dengan isyue yang dibuat atau dituduhkan. Itu isyarat lawan
kita adalah generasi serdadu dengan senjata pikiran bukan buruh picisan
yang gampang rubuh ketakutan oleh senjata dan pukulan
berbagai peluang telah ditebar untuk selalu kita kalahkan. Dengan pedang
terhunus, kemul lisus dimusnahkan. Bukan jadi kasus aras urus tak becus
lihat di ufuk timur Arjuna mengarahkan senjatanya ke angkasa
Jaya Sena mengayun-ayunkan gadanya ke langit jingga
Nakula dan Sadewa berkelebat seperti kilat dan pedang mustikanya
sementara Dharma Kusuma mengatur siasat kejujuran
tangan ditata di atas dada, Sembari teriak ”Bapakku Pandu Dewanata,
istirahatlah dengan tenang di Nirwana, usai kumenangkan peperangan ini!”
kami bukan bangsa keturunan darah Astina yang durhaka pada negara
saksikan bermilyar tangan menyeret lisus angkara dan kita penjarakan
di rutan Amarta Pura. Pekat, lekat tanpa kebocoran, apalagi uang sogokkan.
11.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Gurit Dermayon © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum