Ode Matahari

Rabu, 15 Desember 2010

Ode Matahari

Kusambangi peristirahatan terakhirmu di bawah vikus binyaminka yang rindang, bungabunga pualam mengitari altarmu. Matahariku. Pusara tanpa jendela enggan kulawan kesejukan kotamu di antara pendoa, tak ada habis-habisnya airmata dari orang-orang yang datang tanpa meninggalkan alamat. Batu marmer hitam saksikan wewangian dari 1000 ketulusan yang dialirkan hati khusu. Pagi itu kucatat kelahiranmu. Kalau saja masih berkuasa, bung, pasti tersenyum, menyaksikan negeri yang kau ukir dengan pahat kemerdekaan ini, sarat menapaki langkahmu. Bahkan saat menyambut harimu, dengan spanduk, renungan suci, pekik merdeka! Putra Sang Fajar. Telah lahirkan jiwa raga ke wilayah aneka cuaca. Sampai aku bersimpuh di kuburmu, hanya bisa menunduk. Di hari kelahiranmu, belum datang kesadaran persatuan yang kau ajarkan lewat pidato, tulisan, lukisan, bisikan bahkan api kemarahanmu itu. Siapa sebenarnya nasionalis religius itu? Siapa sih religius nasionalis itu? Kalau bukan anakanakmu, yang kini mewarisi realitas batubatu butiran airmata, sejarah bisu. Wahai matahari yang beranak pinak, tunggu aku, kusudahi khaul ini. Ssampai kemudian kutemukan buktibukti permainan dadu dari lawan dan kawan yang telah membenamkan namamu di sudut sejarah yang diburamkan zaman.

2001

0 komentar:

Posting Komentar

 
Gurit Dermayon © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum